spot_img
Selasa 7 Mei 2024
spot_img
More

    Perunggu Sepak Bola Asian Games, Mimpi Yang Pernah Diraih Timnas pada 1958

    BANDUNG, FOKUSJabar.id: Meraih medali perunggu di ajang Asian Games di cabang olahraga sepak bola nampaknya mustahil dicetak timnas Indonesia. Namun, timnas Indonesia sempat meraih prestasi tersebut pada 62 tahun silam.

    Timnas sepak bola Indonesia pada masa itu, sempat dijuluki Macan Asia usai merebut medali perunggu di ajang Asian Games 1958 di Tokyo, Jepang. Raihan medali tersebut sekaligus menjadi yang kedua setelah sebelumnya diraih di Asian Games 1954 di Manila, Philipina.

    Medali perunggu bagi timnas Indonesia di Asian Games 1958 ditentukan usai menekuk India 4-1 dalam perebutan tempat ketiga. Prestasi medali perunggu Asian Games ini menjadi prestasi tertinggi terakhir timnas Indonesia hingga saat ini. Prestasi tersebut pun, disebut-sebut sulit untuk diulangi.

    Saat itu, timnas Indonesia dilatihan Antun Toni Pogacnik. Toni membuat perubahan besar-besaran di tubuh timnas dengan melakukan peremajaan. Nama-nama seperti Ramang, Djamiaat Dhalhaar, hingga Aang Witarsa pun terpinggirkan.

    Sebagai pengganti, di lini depan dihuni pemain dengan umur rata-rata 23 tahun seperti Wowo Sunaryo, Bakir, dan Suryadi. Sementara di posisi penjaga gawang tetap diisi Maulwi Saelan, sang pengawal Bung Karno.

    BACA JUGA: Timnas U-19 Kembali Gelar TC Virtual 

    Pada babak penyisihan, Indonesia tergabung di Grup B bersama Myanmar dan India. Maulwi Saelan dan kawan-kawan sukses menjadi juara grup setelah menumbangkan Myanmar 4-2 dan India 2-1.

    Di babak perempat final, timnas Indonesia telah ditunggu tim yang tak terlalu diperhitungkan, Philipina. Kedigdayaan Indonesia tak kuasa dibendung Philipina dan menang dengan skor 5-2.

    Di babak semifinal, Indonesia mendapatkan lawan tangguh yakni Republic of China (sekarang menjadi Taiwan), sekaligus kandidat kuat juara. Meski demikian, Indonesia mampu memberikan perlawanan dan hanya kalah dengan skor tipis 0-1.

    Harapan medali emas pun pupus dan satu-satunya yang bisa dibawa pulang hanya perunggu. Di babak perebutan tempat ketiga, Indonesia kembali bertemu dengan India yang pada babak semifinal kalah atas Korea Selatan 1-3.

    Pengalaman saat bertemu di fase grup, membuat pasukan Toni Pogacnik bisa sedikit jumawa. India kembali tak berdaya di hadapan Indonesia dan kembali takluk dengan skor 4-1.

    Kemenangan atas India di laga perebutan tempat ketiga tersebut, membuat timnas Indonesia mempertahankan prestasi di Asian Games sebelumnya, Prestasi ini pun menjadi sejarah yang terus bertahan hingga hari ini yakni medali perunggu Asian Games.

    Pencapaian terbaik timnas Indonesia usai prestasi tersebut, adalah peringkat empat di Asian Games 1986, Seoul, Korea Selatan, saat diperkuat Robby Darwis cs. Prestasi tersebut diperoleh lantaran kalah di babak perebutan tempat ketiga dengan skor 5-0 oleh Kuwait. Selama gelaram multieven olahraga se-Asia dilangsungkan, timnas sepak bola Indonesia telah ikut sebanyak sembilan kali.

    TANGAN DINGIN POGACNIK

    Keberhasilan timnas Indonesia di Asian Games 1958, tak bisa dilepaskan dari tangan dingin Toni Pogacnik. Pelatih asal Yugoslavia itu telah meletakan warisan dasar sepak bola kita, yakni kecepatan dan ketepatan.

    Sejak menginjakan kaki pada 1954, Toni sadar jika pemain di Asia Tenggara, khususnya, memiliki postur tubuh pendek. Berbeda jika dibandingkan dengan pemain asal Eropa. Untuk mengimbanginya, Toni menggenjot kemampuan pemain lewat kecepatan dan kelincahan.

    Kecepatan inilah yang menjadi identik sepak bola Indonesia dan hampir semua klub memaksimalkan kecepatan kedua sayap saat melakukan penyerangan. Strategi ini hampir menjadi manual book di Indonesia.

    Soal ketepatan, butuh waktu bagi Toni untuk bisa menerapkan pada anak-anak asuhnya. Menciptakan peluang sebaik-baiknya yang didorong kecerdasan pemain di lapangan menjadi hal yang sulit, bahkan konon hingga saat ini.

    Bahkan Luis Milla sempat mengatakan jika pemain di Indonesia memiliki skill mumpuni tapi tak diimbangi dengan kemampuan teoritis dasar sepak bola. Yang menjadikan Indonesia menonjol adalah kerja keras di sepanjang laga.

    Pun demikian dengan Shin Tae-yong yang menyoroti para pemain Indonesia belum sepenuhnya memahami teknik dasar. Pelatih asal Korea Selatan ini pun dengan berani menyebut kualitas passing para pemain timnas Indonesia tak lebih baik dari anak sekolah dasar.

    Namun skandal suap jelang Asian Games 1962 di Jakarta menjadi awal dari keruntuhan era Pogacnik. Itu bukan hanya menghancurkan fondasi tim yang cikal-bakalnya sudah disiapkan sejak 1954, tapi juga menghancurkan hatinya.

    Toni pun menjadi semacam cerita legenda sebagai pengantar tidur agar keesokan hari Indonesia bisa kembali bermimpi menjadi Macan Asia.

    (ars/ant)

    Berita Terbaru

    spot_img