spot_img
Tuesday 30 April 2024
spot_img
More

    KontraS Sebut Polisi Seperti Ingin Tutupi Fakta Kasus Kematian Brigadir J

    JAKARTA,FOKUSJabar.id: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menduga pihak kepolisian menutup-nutupi fakta kasus kematian Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen (Pol) Ferdy Sambo.

    Kontras beranggapan indikasi itu menguat karena ada banyak informasi yang disampaikan ke publik terkesan janggal dan tidak masuk logika.

    KontraS mencatat ada enam informasi di lapangan yang tidak sesuai.

    Pertama, ada disparitas waktu yang cukup lama antara peristiwa dengan pengungkapan ke publik yakni sekitar dua hari.

    Kedua, kronologis kejadian yang berubah-ubah ketika disampaikan oleh polisi.

    Ketiga, ditemukan luka sayatan pada jenazah Brigadir J di bagian wajah.

    Empat, keluarga sempat dilarang melihat kondisi jenazah.

    BACA JUGA: Seorang Warga Banten Mengaku Dewa Matahari, Ajarannya Menyesatkan

    Lima, CCTV dalam kondisi mati saat peristiwa terjadi.

    Keenam, keterangan Ketua RT yang tak mengetahui ada peristiwa penembakan dan proses olah TKP (Tempat Kejadian Perkara).

    Perbedaan keterangan yang dinilai KontraS cukup fatal yakni soal luka tembakan di tubuh jenazah Brigadir J.

    Pihak keluarga di Jambi mengatakan, ada empat luka tembak pada tubuh Brigadir J, yakni dua luka di dada, satu luka tembak di tangan, dan satu luka tembak lainnya di bagian leher.

    Polisi malah mengatakan ada tujuh luka dari lima tembakan yang berasal dari pistol Bharada E.

    Brigadir J diketahui bekerja sebagai sopir untuk istri Sambo, Putri Candrawathi. Sedangkan, Bharada E adalah ajudan langsung Irjen Sambo.

    Beredar informasi di media sosial, total Irjen Sambo memiliki enam ajudan berbeda dengan tugas yang juga berbeda.

    Meski begitu, Rivanlee mengaku tidak terkejut dengan pola kinerja Polri yang demikian. Sebab, dalam kasus penembakan terhadap 6 laskar Front Pembela Islam (FPI), kepolisian juga menutupi fakta peristiwa yang sebenarnya.

    Menurut Rivanlee, bukan kali ini saja polisi diduga melakukan aksi penyiksaan. Pada Februari 2022 lalu, seorang pria bernama Hermanto (47 tahun) juga tewas di kantor polisi Lubuklinggau Utara, Sumatra Selatan.

    Ia ditangkap di rumahnya pada 12 Februari 2022 dengan tuduhan melakukan pencurian.

    Ketika ditangkap, polisi tak menunjukkan surat perintah penangkapan. Sebelas jam usai penangkapan, keluarga dikabari bahwa Hermanto sudah terbaring di RSUD Siti Aisyah dalam kondisi tak bernyawa.

    Namun, ketika dicek kondisi jenazah, ditemukan tanda-tanda telah terjadi penyiksaan. Mulai dari sejumlah luka lebam dan memar di tubuh korban seperti lengan sebelah kanan, hidung, bibir atas dan bawah pecah, leher patah, tangan kanan patah, dan jari kelingking patah.

    Usai peristiwa itu terjadi, pihak Polres Lubuklinggau Utara kemudian menawarkan ke keluarga korban agar hal tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, keluarga menolak ajakan damai itu.

    “Ketika memberikan keterangan ke publik, polisi berdalih bahwa mereka telah mengambil langkah terukur terhadap pelaku kriminal. Kami justru menemukan adanya dugaan rekayasa kasus dan fakta,” tutur Rivanlee, seperti dilansir IDN.

    KontraS menilai penyelesaian masalah secara kekeluargaan seolah sudah menjadi pola dan kebiasaan dari Polri, terkait mekanisme pertanggung jawaban.

    (Agung)

    Berita Terbaru

    spot_img