Kamis 12 Desember 2024

Pengasuh Ponpes Lecehkan 25 Santriwati di Batang

JAKARTA,FOKUSJabar.id: Pria berinisial WM (57), seorang pengasuh pondok pesantren di Batang, Jawa Tengah melakukan kekerasan seksual kepada 25 santriwati. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengecam tindakan keji ini.

WM kini sudah ditetapkan sebagai tersangka kekerasan seksual oleh Kepolisian Resor (Polres) Batang. Atas tindakannya, WM dapat diancam dengan hukuman maksimal.

“Saya mengecam keras setiap tindak kekerasan seksual, terlebih terjadi di ruang yang seharusnya aman dan nyaman bagi anak untuk tumbuh dan berkembang. Orang tua mempercayakan anaknya untuk dididik dalam sebuah lembaga pendidikan agar menjadi anak yang cerdas, mandiri, dan berakhlak mulia, tetapi mereka justru mendapat kekerasan dari oknum pendidiknya. Ini sangat memilukan dan kami menegaskan bahwa tidak ada toleransi bagi pelaku kekerasan seksual,” kata Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, Selasa (18/4/2023).

BACA JUGA: 260 Ribu Kendaraan Tinggalkan Jabotabek, ke Bandung dan Trans Jawa

Bintang mengapresiasi penanganan hukum oleh Polres Batang dan berharap kasus ini diproses dengan mempertimbangkan aspek keadilan bagi korban.

Berdasarkan hasil koordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, korban kekerasan seksual ada sebanyak 25 santriwati, yakni 21 santriwati menjadi korban persetubuhan dan empat anak korban pencabulan yang diduga terjadi sejak 2019–2023.

Dia mengatakan, tersangka layak dihukum seberat-beratnya dan mendapat hukuman maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU, pada Pasal 81 Ayat 1, 2, 3, 5, 6, dan 7, terduga pelaku dapat diancam dengan hukuman pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling banyak Rp5 miliar.

Selain itu, dapat dikenakan pidana tambahan berupa tindakan berupa kebiri kimia, pengumuman identitas pelaku, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Bintang menjelaskan, korban berhak mendapat restitusi, berpedoman pada UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Jo UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jo Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Restitusi, Kompensasi, Bantuan Saksi, dan Korban Jo PP Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.

Dalam UU TPKS, Pasal 30 Ayat 1 menyatakan, korban TPKS berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan.

Pada Ayat 2 menyatakan ganti kerugian tersebut berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat TPKS, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat TPKS

Dia mengungkapkan, pihaknya terus berkoordinasi dengan DP3AKB Provinsi Jawa Tengah, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Batang.

Termasuk koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Batang untuk memastikan korban mendapat penanganan psikis yang tepat dan sesuai dengan kebutuhannya.

“Korban telah mendapatkan pendampingan hukum berupa pelaporan dan pemeriksaan visum di kepolisian oleh tim DP3AP2KB Kabupaten Batang, kemudian pemulihan psikis awal dari psikolog Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah dan trauma healing dari tenaga Pekerja Sosial Sentra Terpadu Kartini Temanggung. Kemen PPPA akan terus memastikan para korban mendapatkan perlindungan dan rasa aman serta proses pendidikan para santriwati tidak terbengkalai,” kata Bintang, melansir IDN.

(Dist)

Berita Terbaru

spot_img