JAKARTA,FOKUSJabar.id: Plt Juru Bicara (Jubir) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri mengatakan, tim penhyidik mencecar mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi (NHD) terkait barang bukti yang ditemukan di tempat persembunyiannya di salah satu rumah di Jakarta Selatan saat menjadi buronan.
Menurutnya, KPK, Rabu (26/8/2020) kemarin usai memeriksa Nurhadi dalam kapasitasnya sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada tahun 2011-2016.
Baca Juga: Penjualan Ponsel Dunia Turun Karena Pandemi
“Penyidik mengonfirmasi terkait barang bukti yang ditemukan di tempat persembunyian tersangka selaku DPO (Daftar Pencarian Orang) saat itu yang berada di kawasan Simprug, Jakarta Selatan,” kata Ali Fikri.
Selain Nurhadi, KPK juga memeriksa menantu Nurhadi atau dari pihak swasta Rezky Herbiyono (RHE) sebagai saksi untuk tersangka Nurhadi dan tersangka Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HS).
“Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka NHD dan tersangka HS serta sekaligus sebagai tersangka. Penyidik mendalami pengetahuan yang bersangkutan terkait dugaan penukaran uang di “money changer” dan penggunaan aliran uang yang diterima dari berbagai pihak termasuk yang diberikan oleh tersangka HS,” kata Jubir.
KPK telah mengumumkan Nurhadi, Rezky, dan Hiendra sebagai tersangka pada 16 Desember 2019. Diketahui, tiga tersangka tersebut sebelumnya telah dimasukkan dalam status DPO sejak Februari 2020.
Untuk tersangka Nurhadi dan Rezky telah ditangkap tim KPK di salah satu rumah di Simprug, Jakarta Selatan, Senin (1/6). Sedangkan tersangka Hiendra saat ini masih menjadi buronan.
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 milyar terkait pengurusan sejumlah perkara di MA sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Adapun penerimaan suap tersebut terkait pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero) kurang lebih sebesar Rp14 milyar, perkara perdata sengketa saham di PT MIT kurang lebih sebesar Rp33,1 milyar dan gratifikasi terkait perkara di pengadilan kurang lebih Rp12,9 milyar sehingga akumulasi yang diduga diterima kurang lebih sebesar Rp46 milyar.
(Bambang/ANT)