spot_img
Minggu 5 Mei 2024
spot_img
More

    Pemerintahan Jokowi Didesak Minta Maaf soal Pelanggaran HAM

    JAKARTA,FOKUSjabar.id: Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menilai tak tepat jika Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus meminta maaf atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu.

    Mahfud menilai, Orde Baru bertanggung jawab atas pencabutan status kewarganegaraan sejumlah eks mahasiswa ikatan dinas Indonesia (MAHID) yang dikirim belajar ke luar negeri di era Presiden Sukarno.

    Ada juga mahasiswa yang status kewarganegaraannya dicabut karena tak lolos proses screening dan disebut terkait Partai Komunis Indonesia (PKI).

    “Pemerintah di era reformasi memaksa pemerintahan di era Orde Baru turun. Lalu, kita disuruh meminta maaf kepada siapa, wong kita sudah menurunkan mereka. Seharusnya yang meminta maaf adalah mereka (Orde Baru) kepada kita. Bukan malah kita juga dituntut untuk meminta maaf, itu terbalik,” ujar Mahfud ketika menemui eksil korban pelanggaran HAM berat tahun 1965 di Den Haag, Belanda dan disiarkan melalui Zoom pada Minggu malam (27/8/2023).

    BACA JUGA: Elektabilitas Prabowo Menguat Lantaran Dekat dengan Keluarga Besar NU

    Pertemuan dengan para eksil itu adalah tindak lanjut dari proses penyelesaian 12 kasus pelanggaran HAM berat non yudisial. Pemerintah fokus terhadap pemulihan hak para korban karena tak melalui proses hukum.

    Mahfud bertemu para eksil korban pelanggaran HAM berat 1965 itu di Gedung KBRI, Den Haag. Mahfud didampingi Menkum HAM, Yasonna Laoly, memaparkan kompensasi apa saja yang diberikan negara kepada para eksil.

    Namun, Mahfud sudah mewanti-wanti pemerintah tidak akan bisa mengakomodasi status dwi kewarganegaraaan.

    Poin lain yang tidak akan dilakukan pemerintahan Jokowi yakni meminta maaf kepada korban 12 tindak pelanggaran HAM berat. Jokowi hanya menyesalkan dan mengakui peristiwa pelanggaran HAM berat itu pernah terjadi di masa lalu.

    Mahfud menegaskan, rezim Orde Baru akhirnya digulingkan gerakan reformasi. Pada 2000, pemerintahan era reformasi membuat terobosan kebijakan.

    Salah satunya, menghapus penelitian khusus (litsus). Di rezim Orba, litsus diberlakukan agar ASN dan TNI tak disusupi elemen komunis serta PKI.

    “Penghapusan Litsus itu, Penelitian Khusus, dulu ketika setiap orang yang mau bekerja harus bebas (dari unsur) PKI, hingga keluarganya tidak ada sangkut pautnya dengan itu. Kebijakan itu dihapuskan semua,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

    Dengan dihapuskannya Litsus, maka semua orang kini memiliki peluang sama untuk duduk di jabatan publik mulai dari anggota parlemen hingga kepala daerah.

    “Jadi, hak-haknya dibuka semua. Kami yang kali pertama membuka itu. Kok kita yang disuruh minta maaf, kan kita yang buka (aksesnya). Kok kita yang disuruh minta maaf, kan kita yang jatuhkan rezim itu,” katanya.

    Di dalam forum itu, Mahfud menepis anggapan pemerintah tidak memiliki keinginan memproses hukum para pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu. Sebagai bukti, sudah ada 35 tersangka yang diseret ke meja hijau. Meski, hakim di pengadilan menjatuhkan vonis bebas.

    “Kalau di dalam hukum pidana, pelakunya harus jelas. Sebagian dari pelakunya sudah meninggal atau usianya sama seperti bapak-ibu yang hadir di ruangan ini. Ketika mereka melakukan itu (di masa lalu), mereka menjadi personel ABRI, camat, hingga Menteri, usianya sudah tua. Sekarang, mereka sudah tiada,” kata Mahfud.

    Ia juga mengingatkan di dalam hukum pidana, tidak boleh menghukum orang lain yang bukan merupakan pelaku langsung. Sedangkan, rezimnya sudah dihukum secara politik.

    “Rezim Orba kan sudah berhasil kita jatuhkan dan tak boleh memerintah lagi. Itu sudah selesai secara politik. Pidananya mau (ditimpakan) ke siapa? Keturunannya gak boleh,” tutur dia.

    Mahfud pun meminta kepada para eksil yang hadir di ruangan di KBRI Den Haag untuk menyerahkan informasi terkait pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu yang masih hidup.

    Ia pun menyebut bahwa korban pelanggaran HAM berat bukan hanya para eksil. Ada juga para santri yang meregang nyawa karena sumur di sebuah pesantren diracun.

    “Oleh sebab itu, kami tidak menyebut peristiwa G30S PKI. Melainkan merebut peristiwa 1965-1966,” ujarnya.

    “Kalau Anda memiliki daftar pelaku, saksi, menggunakan alat apa dan di mana lokasinya, tolong kasih ke saya. Kami akan langsung proses ketika pulang ke Indonesia,” tutur Mahfud lagi.

    (Agung)

    Berita Terbaru

    spot_img