spot_img
Jumat 3 Mei 2024
spot_img
More

    Corona, Pengungsi Somalia Ingin Keluar dari Yaman

    YAMAN,FOKUSJabar.id: Enam tahun mengalami perang dan kesulitan di Yaman, pengungsi Somalia Bader Hassan tetap bertahan demi kehidupan lebih baik daripada di tanah kelahirannya.

    Namun sejak pandemi virus corona, mereka ingin keluar dari negara tersebut. Hassan bersama istri dan anaknya ingin tinggal di tempat yang baik, seperti orang lain.

    Terlebih sebagai pengungsi dirinya telah hidup di Yaman tanpa dukungan negara atau lembaga aman. Dia pun keluar dari sekolah lebih awal untuk mencari nafkah, bahkan dia bekerja mencuci mobil di jalan.

    “Tetapi bagaimana kita hidup sekarang jika corona mematikan jasa cuci mobil,” kata Hassan di Ibu Kota Sanna.

    Terbagi antara otoritas Houthi di utara dan pemerintah Yaman di selatan, Yaman hari ini adalah tanah pengungsian dengan 80 persen populasi bergantung pada bantuan kemanusiaan.

    BACA JUGA: Militan Al-shabaab Serang Militer Somalia, 17 orang tewas

    Satu dari setiap delapan warga Yaman telah telantar secara internal akibat konflik yang telah berlangsung selama enam tahun, dan 280 ribu pengungsi asing juga tinggal di sana. Yaman menampung populasi pengungsi Somalia terbesar kedua di dunia.

    Setelah pihak berwenang Houthi mengumumkan kasus virus corona pertama dengan penemuan warga negara Somalia meninggal dunia di sebuah hotel di Sanaa Mei lalu, para migran dan pengungsi Afrika semakin distigmatisasi, kata PBB dan para migran.

    Wakil Badan Pengungsi PBB (UNHCR) di Yaman Jean-Nicolas Beuze mengatakan, pada dasarnya ketegangan antara tuan rumah dan pengungsi serta komunitas migran atas sumber daya Yaman rendah,.

    “Tetapi hubungan itu menjadi tegang saat kesengsaraan Yaman semakin dalam,” kata Beuze.

    Di samping para pengungsi, sekitar 100 ribu migran juga datang melalui jalur laut kawasan Tanduk Afrika. Mereka melakukan perjalan ke utara menuju Arab Saudi yang kaya.

    Sebagian besar migran berasal dari Ethiopia, merupakan korban perdagangan orang, penganiayaan, pemerkosaan, dan pencurian. Sama seperti para pengungsi lainnya, mereka sering tinggal berdampingan di kamp-kamp liar di kota-kota utama di Yaman.

    “Ketika (migran dan pengungsi) mencapai kantor UNHCR atau mitra kami, mereka seringkali tanpa apa-apa, bahkan tanpa dokumen identitas,” kata Beuze.

    Seiring dengan meningkatnya kasus virus corona, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengatakan bahwa para migran dipindahkan secara paksa dari daerah perkotaan ke lokasi yang sulit diakses, termasuk lebih dari 1.300 orang yang dipindahkan paksa dari utara ke selatan sejak akhir April.

    Salah seorang migran Ethiopia Abdelaziz mengatakan bahwa perjalanannya ke Saudi diblokir oleh otoritas utara.

    “Ada 250 orang di antara kami dalam perjalanan laut dengan membayar 1.500 riyal Saudi (Rp5,6 juta). Sekitar lima meninggal dunia,” katanya dari taman pinggir jalan yang kosong di mana dia dan puluhan migran Afrika lainnya tidur di atas karton. Dia sangat ingin pergi. Kami tidak punya makanan dan minuman. Orang-orang lelah membantu kami,” kata Abdelaziz.

    (LIN/ANT)

    Berita Terbaru

    spot_img