spot_img
Kamis 2 Mei 2024
spot_img
More

    Wagub Jabar: Rantai Pasok Pangan Harus Diperbaiki

    GARUT,FOKUSJabar.id: Sistem rantai pasok atau distribusi pangan yang kurang merata di Jawa Barat menjadi penyebab utama lonjakan harga pangan, bahkan menghilangnya komoditas pangan di pasar.

    Demikian diungkapkan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar (Demiz) saat mendampingi Menteri Pertanian RI di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Selasa (6/2/2018).

    Bahkan, kata dia, belum lama ini, lonjakan harga beras memicu pemerintah berencana mengimpor beras meski menjelang masa panen raya.

    “Rantai pasok ini harus dibenahi, ini penyebab masalah sejak puluhan tahun. Karena distribusi yang kurang tertata, akhirnya muncullah spekulan dan impor,” kata Demiz.

    Saat ini Pemerintah Provinsi Jawa Barat tengah memperkuat upaya pemantauan harga pangan di Jabar. Hal itu dilakukan bersama pihak lainnya untuk mengendalikan angka inflasi di Jabar.

    Jabar pun memiliki Early Warning System (EWS) atau sistem peringatan dini terhadap kenaikan harga pangan.

    Sistem ini diluncurkan oleh Forum Koordinasi Pengendalian Inflasi (FKPI) Provinsi Jawa Barat dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) se-Jawa Barat tahun lalu.

    Sistem peringatan dini ini terdapat pada aplikasi Portal Informasi Harga Pangan (Priangan) yang dapat diinstal masyarakat melalui Google Play pada smartphone.

    Untuk memutus permasalahan tingginya harga pangan karena kurang pasokan, katanya, harus ditetapkan data yang valid. Contohnya, setiap harinya didapat data panen bahan pangan dari berbagai kecamatan, mulai dari jenis pangan, jumlah, hingga harganya.

    “Contoh, nanti penyuluh pertanian melapor berapa panen padi, jagung, cabai, bulan ini. Panen di desa mana, nanti dikumpulkan datanya per kecamatan. Nanti ketahuan Jabar punya beras, jagung, cabai, berapa dan di mana saja. Harus terdata semua, termasuk ayam dan daging. Dengan data akurat dan bukan kira-kira, tidak akan ada spekulan,” katanya.

    Dengan adanya jaringan data yang tepat mengenai setiap hasil pangan di Jawa Barat, katanya, akan menghindari spekulasi kebutuhan impor yang tidak tepat, petani akan mendapat harga jual bahan pangan yang layak, dan harga pangan di pasaran terjamin stabil.

    Rantai pasok dengan data yang belum valid, katanya, menyebabkan sejumlah pihak memanfaatkannya untuk kepentingan bisnis. Biasanya pemerintah tidak mau mengambil risiko saat komoditas pangan harganya melonjak dan akhirnya memilih mengimpor bahan pangan.

    “Kalau datanya valid, bisa saja jadinya tidak perlu impor. Makanya sekarang, untuk menghindari permasalahan itu, harus selalu ada data valid yang terukur secara real time. Kita bisa buat smart village yang bisa menyediakan data hasil pangannya tiap saat,” katanya.

    Campur tangan generasi muda dan akademisi dalam pertanian pun mutlak dibutuhkan untuk moderenisasi pertanian di Jawa Barat.

    Karenanya, dibutuhkan regenerasi petani untuk mempertahankan kedaulatan pangan nasional, dimulai dengan mengubah keidentikan antara profesi petani dengan kemiskinan.

    (LIN)

    Berita Terbaru

    spot_img