JAKARTA,FOKUSJabar.id: Sebanyak delapan akademisi melakukan eksaminasi terhadap putusan hukuman pidana mati Ferdy Sambo di kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Delapan eksaminator tersebut yaitu Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Amir Ilyas, Koentjoro, Chairul Huda, Mahmud Mulyadi, Rocky Marbun dan Agustinus Pohan.
Pakar Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mahrus Ali mengungkapkan, bahwa yang dieksaminasi adalah dokumen terkait perkara a quo kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua dengan terdakwa Ferdy Sambo. Setelah itu, dibuatkan isu hukum untuk Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
“Karena ini adalah eksaminasi, maka jelas kajiannya doktrinal karena dibatasi kepada dokumen yang tertulis. Dokumen itulah dikaji para eksaminasi,” kata Ali dalam keterangannya dikutip Senin (12/6/2023).
Maka dari itu untuk Ferdy Sambo, ada tujuh isu hukum dan Putri Candrawathi ada dua isu hukum. Menurutnya, apakah perbuatan Ferdy Sambo masuk dalam kategori Pasal 340 KUHP atau Pasal 338 KUHP.
BACA JUGA: Terungkap, Mayat Terbungkus Plastik di Cijerah Ditemukan 2 Hari Setelah Pembunuhan
“Memang, secara umum mengatakan bahwa ini sebenarnya tidak tepat untuk Pasal 340, tapi lebih tepat Pasal 338. Karena apa? Keadaan tenang itu tidak terbukti,” ucapnya, melansir PRFM.
Menurut Ali, perkara a quo itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya berdasar pada satu keterangan saksi, Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E.
“Yang keterangan saksi Richard Eliezer itu sama sekali berbeda, bahkan bertentangan dengan saksi yang lain. Sehingga, majelis eksaminator mengatakan ini tidak tepat kalau kemudian dasarnya hanya satu keterangan,” tuturnya.
Ali mengatakan, motif dalam kasus Brigadir J yang menjadi isu hukum itu semua eksaminator menyebut bahwa motif itu bukan unsur sehingga tidak wajib dibuktikan.
“Tetapi, karena majelis hakim dalam perkara a quo menjatuhkan pidana mati kepada Ferdy Sambo, maka pertimbangan hukum hakim itu harus lengkap, salah satunya adalah motif,” imbuhnya.
“Sehingga, majelis eksaminator mengatakan pidana mati itu tidak layak dijatuhkan dalam perkara a quo. Karena apa? Karena pertimbangan hakim yang dipaparkan hakim di dalam dokumennya itu tidak lengkap,” sambungnya.
Tidak hanya itu, hasil eksaminasi juga membahas terkait tes poligraf. Ia mengatakan majelis hakim menggunakan tes poligraf.
Sedangkan, versi eksaminator bahwa tes poligraf tidak layak dijadikan pertimbangan karena tidak diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Kemudian, Ali melanjutkan ke isu terkait pelaku penembakan Brigadir J. Jika berdasarkan hasil eksaminasi mengatakan bahwa ada tujuh peluru yang bersarang di tubuh korban.
Disebutkan, ada lima peluru itu berasal dari senjata terdakwa Richard. Sementara dua peluru tidak dapat diidentifikasi pemiliknya karena sudah berbentuk serpihan yang sangat kecil.
“Maka, oleh majelis hakim disimpulkan, karena jelas yang lima peluru itu berasal dari Richard Eliezer, maka dua peluru yang tidak bertuan itu disimpulkan berarti ini pelurunya Ferdy Sambo sehingga hakim mengatakan bahwa Ferdy juga ikut menembak walaupun pertimbangan majelis hakim ini bertentangan dengan bukti ilmiah,” tutur Ali.
Eksaminasi kasus Ferdy Sambo, menurut Ali juga menyorot soal turut serta. Menurutnya, mayoritas eksaminator mengatakan penggunaan pasal turut serta tidak tepat.
Ali menambahkan, pasal turut serta sebenarnya tidak tepat diberikan, tetapi harusnya menganjurkan. Akan tetapi, pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
“Pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam surat dakwaan. Hakim nanti terjebak kira-kira dengan cara pandang dia, karena sejak awal hakim sudah mengklaim ini adalah turut serta,” tukasnya.
Terakhir, majelis eksaminator juga membahas soal isu jeratan obstruction of justice terhadap Ferdy Sambo.
(Agung)