spot_img
Rabu 24 April 2024
spot_img
More

    Tak Nyalakan Lampu Utama Motor, Ngabalin: Presiden Tak Bisa Disamakan dengan Rakyat

    BANDUNG, FOKUSJabar.id : Judicial review yang diajukan dua mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI), Eliadi Hulu dan Ruben Saputra terkait aturan menyalakan lampu utama sepeda motor kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang membawa nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai tidak tepat. Pihak istana pun menyebut jika Presiden tidak bisa disamakan dengan rakyat.

    Dua mahasiswa UKI menyindir Presiden Jokowi yang tidak menyalakan lampu utama sepeda motor saat kunjungan kerja di Kebun Nanas, Tangerang pada 4 November 2018 lalu. Hal tersebut dinilainya melanggar asas kesamaan di mata hukum.

    “Hal ini telah melanggar asas kesamaan di mata hukum yang terdapat dalam Pasal 27 UUD 1945,” ujar kedua mahasiswa UKI yang tertuang dalam dokumen permohonan uji materi ketentuan menyalakan lampu utama sepeda motor pada siang hari seperti diatur pada Undang-Undang (UU) Nomor 22 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

    Dikuti dari detik.com, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menyebut jika aturan lampu sepeda motor harus on saat siang hari tidak serta-merta menyamakan antara presiden dan rakyat biasa.

    “Jangan lupa, alasan utama di dalam UU kenapa lampu dinyalakan di siang hari untuk memberikan isyarat langsung kepada pengguna jalan lain. Menghindari adanya kecelakaan di jalan,” kata Ngabalin, Sabtu (11/1/2020).

    Menilai dari sisi keamanan, lanjutnya, rombongan Presiden sudah mendapat pengawalan. Dengan demikian, tidak akan membahayakan pengguna jalan lainnya.

    “Kalau dia samakan itu dengan presiden, tidak bisa. Karena apa? Presiden jalan (dengan) pengamanan VVIP, kemungkinan bisa tabrakan dengan belakang dan lain-lain, tidak. UU hadirkan untuk setiap orang agar tidak menimbulkan masalah,” timpalnya.

    BACA JUGA: Jokowi Imbau tidak Tergesa-gesa Buka Destinasi Wisata

    Ngabalin tetap mengapresiasi dua mahasiswa UKI, Eliadi dan Ruben, yang telah menggunakan jalur konstitusional dengan cara menggugat ke MK. Keberatan mereka terhadap aturan menyalakan lampu utama di siang hari dengan mengajukan judicial review ke MK sudah cukup tepat.

    “Artinya, yang ingin diajukan, kenapa penting lampu dinyalakan di siang hari sementara di siang hari tidak nyala pun tidak apa-apa. Poin ini menurut saya menjadi penting bagi mereka. Karena itu, kita apresiasi,” tegasnya.

    Menanggapi hal tersebut, Eliadi Hulu mengatakan jika undang-undang berlaku untuk semua tanpa terkecuali. Termasuk Presiden Jokowi.

    “Sebenarnya presiden itu juga rakyat ya, artinya undang-undang itu berlaku untuk semua rakyat tidak terkecuali Jokowi,” kata Eliadi.

    Jika Ngabalin mengatakan ada perbedaan untuk Jokowi, lanjut Eliadi, berarti melanggar asas Undang-Undang Dasar (UUD) terkait kesamaan dalam hukum. Eliadi menegaskan jika Jokowi sebagai presiden seharusnya menampilkan contoh kepada rakyat.

    “Seharusnya Pak Jokowi sebagai pemimpin harus memberikan contoh kepada rakyat bahwa walaupun dia presiden tetap taat kepada hukum,” tegasnya.

    Sebelumnya, Eliadi Hulu yang tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum UKI menggugat UU LLAJ ke MK lantaran tidak terima ditilang akibat tidak menyalakan lampu sepeda motor. Eliadi ditilang personel Polantas di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur, Jumat (8/1/2020).

    Eliadi pun mempertanyakan mengapa dirinya wajib menyalakan lampu padahal bumi sudah terang terkena sinar matahari. Namun jawaban petugas tidak memuaskan.

    Eliadi bersama temannya, Ruben Saputra, lalu menggugat Pasal 197 ayat 2 dan Pasal 293 ayat 2 dan meminta agar dihapuskan. Pasal 197 ayat 2 berbunyi ‘Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari’. Sedangkan Pasal 293 ayat 2 berbunyi ‘Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).

    (ars)

    Berita Terbaru

    spot_img