TASIKMALAYA,FOKUSJabar.id: Polemik soal pasien yang masih harus membayar darah di rumah sakit kembali mencuat di tengah krisis stok darah yang kerap terjadi.
Banyak masyarakat mempertanyakan, mengapa darah yang didonorkan secara sukarela tetap menimbulkan biaya saat dibutuhkan pasien.
Penanggung Jawab Bank Darah Rumah Sakit (BDRS) RSUD KHZ Musthafa Kabupaten Tasikmalaya, dr. Nuria Nirmala menegaskan, darah sama sekali tidak diperjualbelikan.
BACA JUGA:
Gedung Megah, Stok Darah Krisis: RSUD KHZ Musthafa Kabupaten Tasikmalaya Ungkap Fakta
Biaya yang dibebankan kepada pasien tegas Nuria, adalah Biaya Pengganti Pengolahan Darah (BPPD) yang telah ditetapkan secara resmi oleh pemerintah.
“Donor darah itu gratis dan sukarela. Yang dibayar pasien bukan darahnya, tetapi proses pengolahannya agar transfusi aman,” kata dr. Nuria, didampingi Kasi Penunjang Klinik RSUD KHZ Musthafa, dr. Sudaryan, Senin (15/12/2025).
Ketentuan tersebut mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/504/2024 tentang Penetapan Biaya Pengganti Pengolahan Darah. Dalam aturan itu, pemerintah menetapkan tarif BPPD dengan nilai tertinggi mencapai Rp490.000 per labu darah.
Dr. Nuria menjelaskan, darah yang masuk ke rumah sakit tidak bisa langsung ditransfusikan. Setiap kantong darah wajib melalui serangkaian pemeriksaan medis dan laboratorium yang ketat.
Proses tersebut meliputi pemeriksaan kesehatan pendonor, uji saring penyakit menular seperti HIV, hepatitis B, hepatitis C, dan sifilis, pemeriksaan golongan darah dan rhesus, uji silang serasi atau crossmatch, pemrosesan komponen darah, penyimpanan dengan sistem rantai dingin, hingga pendistribusian ke ruangan pasien.
“Semua tahapan itu membutuhkan tenaga medis profesional, alat khusus, bahan habis pakai, listrik, logistik, serta pengawasan mutu yang ketat. Biaya inilah yang kemudian dihitung sebagai BPPD,” jelas Nuria.
BDRS RSUD KHZ Musthafa Kabupaten Tasikmalaya Tak Main-Main Soal Darah
Ia menambahkan, pengelolaan darah di rumah sakit wajib dilakukan oleh unit khusus seperti BDRS atau Unit Transfusi Darah (UTD) yang bekerja sesuai standar nasional dan berada di bawah pengawasan Kementerian Kesehatan.
Tanpa standar tersebut, risiko penularan penyakit dan reaksi transfusi berbahaya dapat mengancam keselamatan pasien.
Pemerintah, lanjut dr. Nuria, tetap menegaskan bahwa donor darah tidak boleh dikomersialkan. Namun agar sistem transfusi darah berjalan aman dan berkelanjutan, biaya operasional pengolahan harus ditanggung sesuai ketentuan yang berlaku.
Ia menjelaskan, bagi pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), biaya pengolahan darah pada prinsipnya telah ditanggung oleh BPJS Kesehatan sesuai indikasi medis. Persoalan kerap muncul ketika stok darah tidak tersedia.
“Kalau stok kosong, keluarga pasien sering harus mencari donor sendiri. Di situlah muncul masalah lain, termasuk biaya di luar ketentuan resmi,” ungkapnya.
Kondisi darurat tersebut berpotensi memunculkan praktik tidak sehat, termasuk transaksi tidak resmi yang justru membebani keluarga pasien dan menimbulkan kesalahpahaman seolah rumah sakit menjual darah.
“Padahal, akar persoalannya terletak pada keterbatasan stok dan belum stabilnya pasokan darah,” ucapnya.
Dr. Nuria mengimbau masyarakat untuk tidak membeli darah di luar jalur resmi karena berisiko tinggi terhadap keselamatan pasien.
BACA JUGA: 20 ASN Ciamis Terima Penghargaan Satyalancana Karya Satya
Ia juga mengajak masyarakat untuk rutin mendonorkan darah sebagai wujud kepedulian kemanusiaan.
“Semakin banyak pendonor sukarela, stok darah akan semakin stabil. Satu kantong darah bisa menjadi harapan hidup bagi pasien,” tutup Nuria Nirmala.
(F Kamil)








