Jumat 13 Desember 2024

Pakar Hukum: Omnibus Law Perbaikan Perizinan

BANDUNG, FOKUSjabar.co.id: Pemerintah Kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah melakukan serangkaian regulasi perizinan, diketahui Omnibus Law Adalah Puncak dari Serangkaian Perbaikan Regulasi Perizinan di Indonesia.

Bahkan serangkaian perbaikan regulasi perizinan ini, dalam bentuk peraturan di level Kementrian sejak periode 2015-2017 telah banyak dipangkas, untuk mempermudah proses birokrasi.

Pakar hukum Universitas Indonesia Dr. Teddy Anggoro mengatakan, Presiden memberikan perintah langsung untuk memangkas 50 persen dari 42.000 regulasi yang ada, bahkan dari 2015-2017 ada 427 regulasi yang dibatlakan.

Kemudian melalui paket kebijakan ekonomi I-XV sejauh ini telah ada 213 Peraturan yang dideregulasi meliputi pencabutan, revisi, dan pembentukan regulasi baru.

“Untuk peraturan daerah itu ada 3.143 regulasi yang dibatalkan. Jadi sebenarnya hambatan regulasi ini sudah coba diperbaiki oleh pemerintah tapi baru level UU ke bawah,” kata Teddy dalam diskusi virtual bertema “Menyederhanakan Hambatan Regulasi di Indonesia”, Jumat (15/5/2020).

Teddy menjalaskan, lagi proses perbaikan regulasi itu masih terbentur ego sektroal antar Kementerian. Oleh karena itu yang muncul di pikiran pemerintah saat ini adalah dengan mengubah UU-nya langsung di tingkat atas.

“Puncaknya saat pelantikan periode kedua pada 20 Oktober 2019, Presiden Jokowi menyebut dengan lugas akan melakukan Omnibus Law sebagai langkah untuk perbaikan regulasi perizinan. Presiden menyebut dua UU besar yang akan menjadi regulasi hasil Omnibus Law yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM,” kata Teddy.

BACA JUGA: Oded Dukung Penuh Penerapan Omnibus Law

Teddy menjelaskan, penerapan omnibus law sudah ada misalnya UU no. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang sifatnya mencabut UU No. 5/1962 tentang perusahaan daerah, mencabut Pasal 157, Pasal 158 ayat 2-9 dan Pasal 159 UU No. 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, mencabut pasal 1 angka 4, pasar 314-412, pasa; 418-421 UU No.17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.

“Ada juga UU Ketenagakerjaan No.13/2003 yang sekarang diribut-ributin itu juga mencabut beberapa regulasi sebelumnya seperti UU No.28 tahun 2000,” katanya.

Teddy menambahkan, belakangan ini banyak orang berdebat mengenai Omnibus Law. Menurutnya, tidak ada yang salah dari aturan ini, pasalnya kata dia, Omnibus Law itu karena cara membentuk suatu undang-undang.

“Kalau orang bicara Omnibus Law itu adanya di common law sistem, tidak dikenal di civil law sistem, sekarang mana ada sistem hukum yang imun dari pembauran atau masuknya sistem hukum lain,” kata Teddy.

Teddy menyarankan sebaiknya DPR RI melanjutkan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Menurutnya, pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja penting untuk dibahas segera sebagai upaya pemulihan pasca covid-19.

Teddy mengaku, sangat tidak setuju jika DPR diberhentikan membahas Omnibus Law ini. Bahkan dari pengalaman pribadinya dirinnya sempat keberatan dengan harus membayar pajak sebesar sekitar Rp 20 juta.

“Bahkan saya tidak ikhlas kalau misalnya uang pajak saya tidak dimanfaatkan dengan baik. Karena saya mulai berpikir bagaimana pasca covid. Apa yang harus kita lakukan. Terus dengan regulasi yang sekarang ada itu jelas tidak sanggup. Jadi jangan dibiarkan DPR itu dikasih tugas hanya mengawasi dana covid jangan. Kalau saya pikir dia harus kerja,” kata Teddy.

(As)

Berita Terbaru

spot_img