spot_img
Sabtu 27 April 2024
spot_img
More

    KKJ: Menteri Bahlil Lahadalia Ancam Kebebasan Pers

    BANDUNG,FOKUSJabar.id: Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dinilai telah mengancam kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan mencederai demokrasi di Indonesia. Hal ini seiring dengan kedatangan Ketua Umum BPP HIPMI periode 2015–2019 ke Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Jakarta, Selasa (19/3/2024) lalu.

    Bahlil melaporkan narasumber salah satu media nasional yang mengungkap penyimpangan terkait kebijakan pencabutan dan pemulihan ribuan izin usaha pertambangan (IUP). Dia melaporkan narasumber tersebut dengan pasal pencemaran nama baik.

    Laporan Bahlil Lahadalia ke Bareskrim Polri seiring dengan pemuatan laporan investigasi di media yang bersangkutan edisi 4-10 Maret yang berjudul ‘Main Upeti Izin Tambang’. Laporan tersebut menuliskan Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM yang mencabut ribuan izin usaha pertambangan dan perkebunan tak produktif dengan alasan memperlancar investasi.

    Rencana pencabutan dimulai pada Mei 2021 bersamaan dengan penerbitan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi. Namun pencabutan IUP tersebut justru membuat banyak pengusaha tambang resah dan mengungkap jika Menteri Bahlil Lahadalia serta orang-orang dekatnya meminta uang atau saham untuk memulihkan izin yang telah dicabut tersebut, berdasarkan invetasi yang dilakukan media tersebut.

    Tekait laporan pemberitaan di media tersebut, Bahlil Lahadia menganggap jika narasumber di liputan tersebut telah mencemarkan nama baiknya dan merasa dirugikan. Terkait dengan daftar nama yang dilaporkan, Bahlil menyebut telah menyampaikan sejumlah nama di internal Kementerian Investasi serta nama lain untuk dimintai keterangan polisi.

    “Atas laporan itu, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menilai Bahlil Lahadalia sebagai pejabat publik yang anti kritik. Pelaporan itu telah mengancam kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan mencederai demokrasi di Indonesia,” kata Koordinator KKJ, Erick Tanjung melalui rilis yang diterima, Jumat (22/3/2024).

    Erick mengatakan, ancaman kriminalisasi narasumber pemberitaan akan merugikan publik dan menciptakan kebuntuan dalam mencari narasumber yang valid. Tak hanya itu, kondisi tersebut akan membuat orang semakin takut menjadi narasumber, saksi untuk mengungkap sebuah kejahatan korupsi dan kejahatan lainnya, karena yang dihadapi ancaman hukuman pidana maupun perdata.

    “Pelaporan narasumber dari media tersebut itu mengancam kemerdekaan pers dan menjadi preseden buruk bagi demokrasi,” Erick menambahkan.

    Hak mencari dan mendapatkan informasi, lanjut Erick, sudah dijamin konstitusi. Bahkan secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin pada Pasal 19 dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum Nomor 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Temasuk jaminan yang tertuang di Pasal 28E dan 28F UUD, serta Pasal 14 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

    Sementara terkait tindakan media yang bersangkutan dengan tidak membuka identitas narasumber karena pertimbangan keamanan, kata Erick, dijamin Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dewan Pers pun telah menilai liputan tersebut dan menyatakan secara prosedural serta tak melanggar kode etik.

    “Media massa mempunyai hak tolak mengungkap identitas narasumber dan itu dijamin dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers,” Erick menegaskan.

    Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menjelaskan, narasumber berita merupakan bagian dari produk jurnalistik sehingga tidak dapat dipidana karena dilindungi oleh Undang-undang Pers.

    “Sesuai dengan UU Pers, jika tidak terima atas berita atau terjadi protes maka dapat diselesaikan dengan mekanisme hak jawab dan hak koreksi. Jika belum cukup, pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dapat melapor ke Dewan Pers untuk penyelesaian sengketa,” kata Ade.

    Sebelumnya, Ade menyebut jika sudah ada yurisprudensi dalam kasus serupa yakni dalam putusan kasasi perkara terdakwa Mohammad Amrullah yang dilaporkan perusahaan tambang karena pernyataan sebagai narasumber di salah satu pemberitaan pers pada 2016. Mahkamah Agung (MA) sudah pernah menetapkan jika narasumber berita tidak bisa dijerat pidana dengan pasal pencemaran nama baik.

    Putusan dengan nomor 646 K/Pid.Sus/2019 itu menghasilkan amar yang membebaskan Mohammad Amrullah dari dakwaan. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan narasumber berita tidak bisa dikenakan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik sebab produk jurnalistik sepenuhnya menjadi tanggung jawab media pers bukan narasumber.

    “Pernyataan atau informasi narasumber dalam pemberitaan merupakan produk jurnalistik, yang bertanggung jawab adalah Pemred media pers tersebut,” kata Ade.

    (Ageng)

    Berita Terbaru

    spot_img