spot_img
Sabtu 11 Mei 2024
spot_img
More

    SCC Bisa Jadi Pengendali Inflasi Jabar di Masa Depan

    pengendalian inflasi

    BANDUNG,FOKUSJabar.id: Keberhasilan Pemprov Jabar meraih penghargaan sebagai sebagai Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Terbaik untuk Wilayah Jawa-Bali tak lepas dari kolaborasi berbagai pihak. Di sana ada peran Bank Indonesia yang berkolaborasi dengan pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dalam mengusung berbagai program TPID

    “Kolaborasi dan sinergitas ini dilaksanakan untuk menjaga laju inflasi tetap berada dalam rentang target yang telah ditetapkan, sekaligus mendukung pemulihan ekonomi pasca Covid-19,” ujar Deputi Direktur Senior Bank Indonesia Jawa Barat.

    Menurut Taufik, TPID Jabar menerapkan strategi 4K yang menjadi acuan program pengendalian inflasi. 4K yang dimaksud adalah Keterjangkauan Harga, Ketersediaan Pasokan, Kelancaran Distribusi, dan Komunikasi Efektif.

    BACA JUGA: Gastronomi Bisa Tekan Inflasi

    “Kami berusaha menjaga stabilitas harga bahan pokok penting di Jabar. Ini dilakukan melalui program-program strategis untuk meminimalkan lonjakan harga bahan pokok antara lain dengan penguatan dan kolaborasi dengan satgas pangan untuk mencegah tindakan-tindakan yang menyebabkan harga melonjak,” jelas Taufik.

    Untuk itulah, pelayanan informasi pasar bagi masyarakat konsumen dan pedagang pasar sangat diutamakan supaya mereka mengetahui harga terkini komoditas pangan strategis. Selain itu, juga dilakukan kegiatan koordinasi dan sinkronisasi pemantauan stok komoditas pangan agar kelangkaan pasokan yang dapat menyebabkan harga meningkat berlebihan, bisa dihindari.

    Pengendalian Inflasi
    Mobil Pickup yang sedang menganggkut hasil bumi atau angkutan logistrik. Ilustrasi (Foto: KPED)

    “Keterjangkauan harga menjadi ujung tombak pengendalian inflasi. Ini juga mengindikasikan mekanisme pasar yang berjalan baik, terhindar dari distorsi harga dan tindakan-tindakan menyimpang yang mempengaruhi keseimbangan permintaan dan penawaran, serta pembentukan harga wajar di pasar,” jelasnya.

    Selain itu, ketersediaan pasokan barang kebutuhan pokok masyarakat juga menjadi faktor pencegah terjadinya gejolak harga. Kondisi ini akan tercapai bila produksi barang dan jasa mampu mencukupi kebutuhan masyarakat konsumen.

    “Tantangan muncul karena produksi komoditas tertentu seperti hasil pertanian sangat dipengaruhi faktor musim sehingga kita perlu merumuskan strategi tepat mengatasinya seperti pengaturan pola tanam, bibit pangan berkualitas, dan teknologi pertanian yang tepat. Tapi masalah penanganan pasca panen, penyimpanan, dan distribusi pun harus diperhatikan pula,” kata Taufik.

    Selanjutnya, perhatian TPID adalah dalam kelancaran distribusi. Distribusi barang yang lancar akan memastikan barang kebutuhan tersedia di pasar untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan biaya logistik dan transportasi yang efisien. Distribusi yang tersendat dapat memicu terjadinya inflasi karena terjadi gangguan dalam rantai pasok.

    Berbagai upaya yang telah dilakukan di Jawa Barat antara lain melalui peningkatan infrastruktur perdagangan seperti Optimalisasi Sistem Resi Gudang (SRG) di titik-titik wilayah produsen maupun konsumen. Juga Pengembangan Sistem Logistik Daerah (SILOGDA) melalui optimalisasi Pusat Distribusi Pangan (PDP) untuk menjaga kelancaran distribusi pangan strategis di Jawa Barat.

    Ketua Harian Komite Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah (KPED) Jabar, Ipong Witono setuju dengan pendapat Taufik. Menurutnya, salah satu kunci pengendalian inflasi adalah ketahanan rantai pasok. Salah satu program afirmasi dari KPED adalah membangun membangun ekosistem rantai pasok (pangan) dengan mengoptimalkan sumberdaya yang ada, mengintegrasikan, mengkolaborasikan sektor usaha dan regulator, melalui integrasi Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan Digitalisasi rantai pasokan komoditas dari dan ke Jawa Barat dan Intra Jabar.

    “Kami menyebutnya Supply Chain Center (SCC). Ini menjadi pusat rujukan informasi rantai pasok komoditas dari hulu sampai hilir dari dan ke Jawa Barat dan Intra Jabar yg dibutuhkan oleh stakeholder khususnya di Jawa Barat,” jelas Ipong.

    SCC ini menjadi mitra bagi para pemangku kepentingan dalam menyusun kerangka/panduan kebijakan. Atau membuat kebijakan dan monev implementasi kebijakan yang berhubungan dengan rantai pasokan komoditas dari dan ke Jawa Barat dan Intra Jabar.

    “Jadi SCC bukan sebuah fisik bangunan untuk mengelola pergerakan pangan tetapi sebuah ekosistem rantai pasok pangan di Jawa Barat yang didukung oleh regulasi dan tim yang kuat,” kata Ipong.

    SCC mendukung Pemprov untuk mengakselerasi aktifasi PDP (Pusat Distribusi Provinsi) dan STA (Sub Terminal Agrobisnis) yang merupakan bagian dari pembentukan ekosistem sistem rantai pasok. Ini akan sangat bermanfaat bagi produsen komoditas dan Pemprov dalam mengembangkan perdagangan antar daerah di Jawa Baratguna menjamin ketersediaan, stabilitas harga dan keterjangakuan komoditas.

    Pengendalian Inflasi
    Bongkar muat hasil bumi yang dari petani lokal. Ilustrasi (Foto: KPED)

    Untuk itu SCC mengoptimalkan rantai pasok pangan melalui optimalisasi Aplikasi Simawas Pagi yang sudah ada di Pemprov Jabar dan dikembangkan oleh DKPP dengan integrasi SIM yang ada di Kementan dan SIM Kab/Kota. “Ini sebagai early warning system dan Pengendalian Ketahanan Pangan di Jawa Barat,” jelas Komisaris Utama BUMD Jasa Sarana ini.

    BACA JUGA: Pertanian Program Utama Pengendalian Inflasi Jabar

    Untuk saat ini, komoditas prioritas SCC adalah beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, telur ayam, daging ayam dan daging sapi. Implementasi konkrit sudah diterapkan pada komoditas daging ayam melalui kolaborasi setiap titik yang terlibat di hulu, intermediasi, dan hilir. Sektor pangan lainnya masih dalam tahap pendataan.

    Pengamat ekonomi dari Unpas, Yayan Satyakti yang terlibat dalam pembentukan SCC mengakui bahwa SCC masih menginventarisasi aplikasi dan data gathering dari informasi OPD di Jawa Barat tentang rantai pasok. Sehingga keberadaan SCC belum memberikan dampak yang terlalu banyak. 

    “Tapi proses untuk ke arah sana memerlukan effort yang tidak mudah karena data acquisition serta decision support systemnya belum terbentuk. Masih di tataran konsep yang perlu dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu OPD di Jawa Barat yang berhubungan dengan SCC diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap kesuksesan SCC,” ujar Yayan yang juga menjadi Wakil Ketua Sub Divisi Kebijakan Ekonomi KPED Jabar ini.

    Pengamat spesialis Ekonomi Energi dan Perdagangan Internasional ini  menilai, komoditas yang perlu untuk dipantau oleh SCC adalah komoditas yang selalu menjadi biang kerok inflasi (volatile food). Komoditas ini juga sangat erat kaitannya dengan konsumsi masyarakat seperti Beras, Cabe Merah, Cabe Rawit, Telor, Daging Sapi, Bawang Putih, Bawang Merah, Kedelai, Garam, dan beberapa jenis komoditas yang memang secara seasonal effect berdampak terhadap inflasi.

    “Sekarang ini TPID Jabar sudah meraih penghargaan sebagai TPID terbaik untuk Jawa dan Bali. Insyaa Allah, keberadaan SCC akan menjadikan TPID Jabar lebih baik lagi,” ujar Yayan.

     

     

     

     

    Berita Terbaru

    spot_img