GARUT,FOKUSJabar.id: Perpustakaan Nasional (Perpusnas) berperan aktif mendukung pembangunan berkelanjutan berdasarkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kesetaraan untuk mendorong tercuptanya Sustainable Development Goals (SDGs).
Sebagai salah satu upaya penguatan budaya literasi, Perpustakaan Nasional bekerja sama denga Institut Pendidikan Indonesia (IPI) Kabupaten Garut menyelenggarakan kegiatan Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM), Jumat (29/9/2023).
Anggota Komisi X DPR RI, Ferdiansyah mengatakan, jika literasi bukan sekedar membaca, tapi juga mendengar. Ada enam jenis literasi yang perlu diketahui.
Pertama, baca tulis. Menariknya ada pesan terselubung terkait dengan literasi.
Dulu ada belajar menulis tebal tipis. Itu melatih perasaan. Olah rasa yang saat ini sudah tidak dilakukan lagi.
Kedua, literasi numerasi, ketiga literasi sains, keempat literasi digital, kelima literasi finansial dan literasi budaya serta kewarganegaraan.
Jika dikaitkan dengan kebutuhan literasi di perpustakaan sekolah, pria yang karib disapa Ferdi ini mengungkapkan fakta yang mengejutkan.
Pihaknya mencatat masih ada 244.342 sekolah belum memiliki perpustakaan. Dan 144 ribu di antaranya tidak memiliki pustakawan karena hanya dikelola oleh guru.
BACA JUGA: Gemilang Perpustakaan Nasional 2021 Apresiasi Tertinggi Bagi Insan Literasi
“Pengelolaan perpustakaan di sekolah untuk ke depannya harus dilakukan oleh para ahli. Entah berasal dari jenjang pustakawan pertama, madya, utama atau ahli. Jumlah idealnya sama dengan sekolah. Karena keberhasilan proses pembelajaran ditentukan kualitas perpustakaan sebesar 21-29 persen, ” bebernya.
Ferdi menjelaskan, kesenjangan perpustakaan pada sekolah di mana tidak semua memiliki perpustakaan dan pustakawan.
“Tidak semua pustakawan sekolah memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan amanat Permendiknas Nomor 25 Tahun 2008,” sebutnya.
Deputi Bidang Pengembangan Bahan Putaka dan Jasa Informasi Perpusnas, Mariana Ginting menyebut, perpustakaan adalah penerang dalam perkembangan intelektual masyarakat.
Ini menjadi arah transformasi bahwa paradigma perpustakaan sudah berubah.
“Paradigma baru perpustakaan mengarahkan pada pekerjaan manajemen koleksi tinggal 10 persen. Lalu, me-manage ilmu pengetahuan yang mendapatkan porsi 20 persen. Justru, porsi perpustakaan sebagai medium transfer ilmu pengetahuan (transfer knowledge) kini lebih besar. Kami menyebutnya sebagai perpustakaan menjangkau masyarakat,” tegasnya.
Perpusnas, memiiki program Transfomasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS) yang sudah eksis sejak 2018 di tingkat provinsi, kota/kabupaten hingga ke desa.
TPBIS terbukti efektif dalam memberikan manfaat kepada masyarakat. Khususnya bagi masyarakat marjinal.
“Mengelola literasi sama dengan mengelola manusia. Tujuan pentingnya adalah memajukan bangsa dan memaksimalkan pembangunan masyarakat,” kata Mariana.
Pustakawan Utama Perpusnas, Deni Kurniadi menjelaskan, program TPBIS telah bersinergi dengan dinas perpustakaan provinsi, kabupaten/kota dan perpustakaan desa/kelurahan di seluruh Indonesia.
“Ciri khas TPBIS yakni perpustakaan tidak hanya menyiapkan program tapi juga didayagunakan melalui praktek agar masyarakat bisa sejahtera serta mampu mengerek ekonomi keluarga,” bebernya.
Program ini tidak hanya didukung dinas, tapi juga pegiat literasi. Bahkan, program TPBIS sudah direplikasi oleh sejumlah provinsi, lebih dari 300 kabupaten/kota serta ribuan desa/kelurahan melakukannya.
BACA JUGA: Perpustakaan Nasional Menyerahkan 1.000 Eksemplar Bantuan Buku Berbasis Data Desa Presisi
Hal senada disampaikan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Garut, Totong. Menurutnya, keberadaan perpustakaan bersama dengan pendidikan harus dimaknai sebagai bagian dari strategi kebudayaan.
“Gerakan literasi adalah gerakan yang bersifat kolektif,” imbuh Totong.
Tantangan perpustakaan yang dihadapi Pemkab Garut kini adalah bagaimana menciptakan aksesibilitas masyarakat memperoleh informasi yang valid, co-working space, inisiator digital publishing, ruang belajar, ruang berbagi pengalaman (best practise) sampai ketersediaan ruang baca digital.
“Kami telah menyiapkan anggaran sebesar Rp5,2 milyar untuk pengembangan perpustakaan, sarana prasarana dan buku-buku,” ungkap Totong.
Dekan Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial, Bahasa dan Sastra IPI Garut, Lina Siti Nurwahidah mengimbau agar para perempuan di Garut harus melek baca-tulis, memahami literasi digital, finansial dan budaya agar terhindar dari berita hoaks.
“Akibat terjebak pada berita hoaks dan kurangnya literasi finansial, banyak masyarakat yang terkena pinjol,” urai Lina.
Oleh karena itu, Lina menegaskan perempuan di Garut pun berpartisipasi aktif dengan kemampuan dengan memanfaatkan potensi kedaerahan yang ada di sekitarnya. Misal, mengolah budidaya hasil rumput laut.
(Erwin)