spot_img
Jumat 29 Maret 2024
spot_img
More

    Muhammadiyah Sebut Proporsional Tertutup Bukan Kemunduran Demokrasi

    JAKARTA,FOKUSJabar.id: Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengatakan, sistem proporsional tertutup bukan bentuk kemunduran demokrasi.

    Dia menilai, ukuran demokrasi tidak bisa hanya diukur dari sistem pemilihan umum (pemilu) yang dianut.

    “Saya kira tidak ya. Di banyak negara banyak (sistem proporsional tertutup). Kita lihat sistem demokrasi berbagai negara itu juga sangat beragam, jadi demokrasi itu ukurannya tidak selalu diukur dari sistem yang bergantung pada populisme politik atau popular vote,” kata Mu’ti dalam konferensi pers usai menggelar audiensi dengan KPU RI, di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Selasa (3/1/2022).

    “Tetapi banyak juga yang ditentukan dari sistem sistem, di mana di dalam pengalaman negara itu penentunya adalah bagaimana penyelenggaraan pemilu yang berlangsung dengan baik,” kata dia.

    BACA JUGA: PDIP Jadi Satu-satunya di DPR yang Dukung Pemilu Tertutup

    Mu’ti lantas mengusulkan dua opsi sistem pemilihan legislatif (Pileg). Sesuai dengan muktamar, Muhammadiyah mengusulkan dua sistem pemilihan legislatif.

    Pertama, menggunakan sistem proporsional tertutup. Kedua, sistem proporsional terbuka terbatas.

    “Usulan sesuai muktamar ada dua, yang pertama kita mengusulkan agar sistem proporsional terbuka sekarang ini diganti dengan sistem tertutup. Usulan kedua, adalah terbuka terbatas. Di mana sebagaimana sistemnya yang pernah kita pakai. Kita bisa memilih parpol atau memilih caleg yang memang semua mengikuti ketentuan kalau memenuhi BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) dia akan terpilih, tapi kalau tidak yang terpilih sesuai dengan nomor urut,” katanya, melansir IDN.

    Mu’ti menyebut, sistem pemilu proporsional terbuka berpotensi menimbulkan banyak masalah. Salah satu yang jadi sorotan ialah fenomena kanibalisme politik, di mana antar politisi menjegal satu sama lain. Oleh sebab itu, ia mendukung adanya pergantian sistem proporsional terbuka.

    “Harapan kami dengan perubahan sistem itu, pertama bisa dikurangi kanibalisme politik, di mana sesama calon itu saling menjegal satu sama lain yang itu berpotensi menimbulkan polarisasi politik,” ucap Mu’ti.

    Mu’ti menilai dengan digantinya sistem proporsional terbuka, bisa mengurangi praktik politik uang yang marak terjadi jelang pemilu.

    Selain itu, kata dia, bisa mengurangi populisme politik yang membuat pemilih menentukkan pilihan bukan berdasarkan kualitas, tapi berdasarkan popularitas.

    “Mengurangi money politic, karena kemudian muncul siapa yang punya kekuatan kapital yang paling kuat, itu juga menjadi masalah yang menimbulkan money politic,” ucap dia.

    “Bisa mengurangi populisme politik yang kadang-kadang pemilih ini menentukkan pilihan bukan berdasarkan kualitas, tapi berdasarkan popularitas,” sambung Mu’ti.

    Sistem pemilu proporsional tertutup memungkinkan pemilih dalam pemilu legislatif (Pileg) hanya memilih partai, bukan calon legislatif. Sistem itu berbeda dengan proporsional terbuka yang saat ini berlaku, di mana masyarakat bisa memilih kandidat calon legislatif secara langsung.

    Jika sistem proporsional tertutup berlaku, surat suara hanya akan berisi nama, nomor urut, dan logo partai.

    Sementara, partai politik yang menang dan mendapat jatah kursi, berhak menentukan orang yang akan duduk di kursi parlemen itu.

    Sistem proporsional tertutup dipakai pada Pemilu 1955, sepanjang Orde Baru, dan terakhir pada Pemilu 1999. Perubahan dilakukan dengan menerapkan sistem proporsional terbuka mulai Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019.

    (Agung)

    Berita Terbaru

    spot_img