spot_img
Jumat 17 Mei 2024
spot_img
More

    Pemberdayaan Krusial jadi Solusi Kemiskinan Ekstrem

    BANDUNG,FOKUSJabar.id: Pemberdayaan dengan pendampingan menjadi salah satu cara untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem, selain penyaluran bantuan langsung tunai (BLT).

    Dengan pemberdayaan yang komprehensif, rumah tangga yang berada di bawah garis kemiskinan ekstrem dapat menghidupi diri sendiri dan keluarga.

    Demikian dikatakan Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Jawa Barat (Jabar) Taufiq Budi Santoso dalam Focus Group Discussion (FGD) Kemiskinan Ekstrem di Jabar via konferensi video, Senin (27/12/21).

    BACA JUGA: Ridwan Kamil Dukung Penghapusan Premium

    Turut hadir Ketua Komite Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah (KPED) Jabar Ipong Witono, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar Dyah Anugrah Kuswardani, dan Koordinator Fungsi Statistik Sosial BPS Jabar Gandari Adianti, dalam FGD yang digagas oleh Divisi Kajian Ekonomi dan Jasa Keuangan KPED Jabar tersebut.

    Taufiq mengatakan, pemberdayaan keluarga miskin ekstrem amat krusial dilakukan. Tujuannya agar keluarga pra sejahtera tersebut dapat memiliki penghasilan, bangkit dari keterpurukan, dan menghidupi diri sendiri serta keluarga.

    “Ini yang perlu kita dorong bersama-sama. Selain bansos, kita juga harus memberdayakan masyarakat miskin untuk bisa mendapat pendapatan. Kita harus meningkatkan kemampuan masyarakat miskin ektrem,” kata Taufiq.

    BACA JUGA: LPM Kota Bandung Siapkan Program Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Ekonomi dan Digital

    Menurut Taufiq, pemberdayaan perempuan pun perlu diperlukan dan disusun secara komprehensif. “Partisipasi perempuan dalam penanganan kemiskinan itu penting. Ibu-ibu bergerak atau yang memiliki putra-putri. Partisipasi perempuan menjadi penting,” kata dia.

    Hal senada dikatakan Koordinator Fungsi Statistik Sosial BPS Jabar Gandari Adianti. Menurutnya, meningkatkan partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi dapat menjadi salah satu upaya mengentaskan kemiskinan ekstrem.

    “Sebesar 1,7 persen keluarga rumah tangga miskin ekstrem merupakan rumah tanggal tunggal, didominasi keluarga rumah tangga berjenis kelamin perempuan,” katanya.

    Selain itu, Gandari juga memaparkan karakteristik penduduk miskin ekstrem di Jabar. Pertama, mayoritas berpendidikan rendah. Kedua, tidak punya keahlian. Ketiga, lebih dari 50 persen penduduk miskin ekstrem usia 15 tahun tidak bekerja.

    Kemudian, 48,51 persen penduduk ekstrem berusia 24 tahun ke bawah. Kelima, penduduk miskin ekstrem lebih banyak perempuan. Keenam, rata-rata usia Kepala Rumah Tangga (KRT) yakni 48 tahun. Ketujuh, rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak empat orang.

    Lalu, sebagian besar penduduk miskin ekstrem bekerja di sektor pertanian. Kesembilan, penduduk miskin ekstrem tidak memiliki lahan pertanian sendiri. Terakhir, penduduk miskin ekstrem pasrah menerima keadaan.

    “Pasrah ini tidak hanya di Jabar. Di daerah lain pun muncul sifat yang hampir sama. Ketika tidak mendapatkan bantuan, tetangga yang lebih mampu justru mendapatkan dan mereka tidak melaporkan. Ini seperti tidak ada fighting spirit untuk keluar dari kemiskinan,” kata Gandari.

    Sedangkan di bidang konsumsi makanan, beban hidup penduduk miskin ekstrem dapat dikurangi dengan program Bantuan Sembako, Bantuan Pangan Non Tunai, Bantuan Langsung Tunai, dan BLT Dana Desa. Begitu juga di bidang kesehatan dengan PKH dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).

    “Ini bisa mendorong kelompok usaha yang dapat memberikan pekerjaan kepada penduduk miskin ekstrem, menggalakkan kelompok usaha bersama di sektor perdagangan maupun industri rumah tangga yang memperhatikan produk dan potensi wilayah tempat tinggal penduduk miskin, dan memberikan bantuan lahan pertanian kepada penduduk miskin untuk meningkatkan kesejahteraan petani,” kata dia.

    Sementara itu, Ketua KPED Jabar Ipong Witono menyatakan bahwa kebersamaan semua pihak menjadi krusial. Pendekatan-pendekatan dengan pola baru yang sifatnya memiliki akses harus juga diperkuat.

    “Kemiskinan yang mengendap di masyarakat ini, sebelum pandemi sudah jelas, bahwa proses kesenjangan itu begitu panjang ditambah resensi ini,” kata Ipong.

    “Kita harus mencari pola-pola baru yang sifatnya memiliki akses. Dorong bank jabar agar instrumen keuangan menyebar seluas-luasnya di sektor pedesaan,” tambahnya.

    Ipong pun mendorong semua pihak untuk menyerap aspirasi secara langsung dari berbagai kelompok masyarakat. Hal itu akan menjadi pertimbangan Pemerintah Provinsi Jabar dalam mengambil kebijakan.

    “TAP menjemput suara-suara dari berbagai kelompok masyarakat untuk bisa menyajikan itu di meja gubernur. Ini semua jadi pekerjaan rumah bersama… Bagaimana kita mengolah masalah ini menjadi solusi. Itu bisa terlihat dari dampak,” ucap Ipong.

    (Agung)

    Berita Terbaru

    spot_img