JAKARTA,FOKUSJabar.id: Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Permendikbut Nomor 30 Tahun 2021 soal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi dicabut.
Hal itu disampaikan oleh Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam.
“Meminta kepada pemerintah agar mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi/merevisi Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021,” Kata Asrorun.
BACA JUGA: KPK Kembali Panggil 3 Saksi Dalam Kasus Dugaan Korupsi di Kota Banjar
Asrorun mengatakan, MUI mengapresiasi niat baik Kemendikbudristek dalam mencegah kekerasan seksual di perguruan tinggi. Namun, kata dia, Permendikbud 30/2021 itu menimbulkan kontroversi.
“Ketentuan-ketentuan yang didasarkan pada frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, UUD 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia,” kata ketua MUI itu, seperti dilansir IDN.
Tak hanya MUI, Sebelumnya, Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah meminta Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 juga dicabut.
Ketua Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad mengatakan, ada dua kajian yakni formil dan materiil terkait alasan Permendikbud 30/2021 diminta dicabut. Dari sisi formil, Permendikbudristek 30/2021 dinilai tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya, karena pihak terkait tak dilibatkan secara luas.
“Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan menteri), harus dilakukan berdasarkan asas keterbukaan,” kata Lincolin, Senin (8/11/2021).
Dia mengatakan, Permendikbudristek 30/2021 ini tidak tertib materi muatan. Menurutnya, ada dua kesalahan materi muatan yang mencerminkan adanya pengaturan yang ada melampaui kewenangan.
“Pertama, Permendikbudristek 30/2021 mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undangundang, seperti mengatur norma pelanggaran seksual yang diikuti dengan ragam sanksi yang tidak proporsional,” kata dia.
“Kedua, Permendikbudristek 30/2021 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi (Vide Pasal 62 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi) melalui pembentukan ‘Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual’,” sambungnya.
Dalam keterangannya, Lincolin menjelaskan, ada lima poin masalah materiil. Berikut lima poin tersebut.
- Pasal 1 angka 1 yang merumuskan norma tentang kekerasan seksual dengan basis “ketimpangan relasi kuasa” mengandung pandangan yang menyederhanakan masalah pada satu faktor, padahal sejatinya multikausa, serta bagi masyarakat Indonesia yang beragama, pandangan tersebut bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan laki-laki dan perempuan dalam relasi “mu’asyarah bil-ma’ruf” (relasi kebaikan) berbasis ahlak mulia.
- Perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa ”tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent)”.
- Rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.
- Pengingkaran nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta legalisasi perbuatan asusila berbasis persetujuan tersebut, bertentangan dengan visi pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “pemerintah mengusahakan dan penyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.
- Sanksi penghentian bantuan dan penurunan tingkat akreditasi bagi perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dalam Pasal 19 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak proporsional, berlebihan, dan represif. Seyogyanya pemerintah lebih mengedepankan upaya pembinaan dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menguatkan institusi pendidikan.
Diktilitbang PP Muhammadiyah meminta Kemendikbudristek untuk menyusun kembali PPKS. Lincolin juga menyarankan kepada Kemendikbudristek, dalam menyusun kebijakan harus berdasarkan nilai-nilai agama, Pancasila, dan UUD 1945.
“Kemendikbudristek sebaiknya mencabut atau melakukan perubahan terhadap Permendikbudristek No 30 Tahun 2021,” katanya.
BACA JUGA: Fatwa MUI: Uang Kripto Haram!
(Agung)