BANDUNG, FOKUSJabar.id: Sejak diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kota Bandung pada 21 April lalu, penyebaran Covid-19 di Kota Bandung masih terus bergerak. Warga pun seolah jenuh dengan aturan yang ditetapkan pemerintah terkait Perwal PSBB di Kota Bandung.
Tidak sedikit warga yang akhirnya melanggar aturan yang ditetapkan. Hal itu dinilai karena kurangnya kreatifitas dari Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof. Muradi. Menurutnya, dalam penanganan Covid-19 harus memperhitungkan 4 aspek yang cukup penting.
“Pertama, saya kira harus dilihat itu dalam tataran legalitasnya. Harus bisa kemudian mencakup keseluruhan. yang kedua, liat aspirasi publik. Yang ketiga, misalnya soal perkembangan covid-19 itu sendiri. Keempat, menyangkut soal koordinasi dengan Kabupaten dan Kota lain dalam aspek ini dengan Kota Bandung,” ujar Muradi saat ditemui di Jalan Tubagus Ismail Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (9/6/2020).
BACA JUGA: Dinkes Koreksi Pernyataan Wali Kota Bandung Soal 10 Pasien Positif Covid-19
Dari 4 aspek tersebut, lanjutnya, yang harus dipahami adalah publik kurang lebih sudah 4 bulan di rumah dan butuh stimulasi. Stimulasi tersebut memerlukan inisiatif dari Pemkot Bandung untuk kemudian melakukan langkah-langkah yang sifatnya membaca pergerakan publik bersamaan dengan, misalnya, wacana new normal.
“Artinya, sesuatu yang baru kemudian normal tapi seperti biasanya, karena masih belum ditemukan aktivitas sebagainya. Nah, saya kira ini yang harus digaris bawahi dan diperhatikan,” ungkapnya.
Muradi pun menilai, evaluasi yang dilakukan Pemkot Bandung terlalu normatif.
“Kalau saya menyebutnya kering kreativitas karena sebenarnya publik paham Covid-19 ini dahsyat dan bermasalah. Tapi mereka juga ingin melihat stimulasi atau formula apa yang ditawarkan. Nah, bentuk kreativitas itu saya kira perlu dilakukan. Sementara, Wali Kota Bandung, Sekda dan sebagainya menurut saya orang-orang normatif yang tidak terlalu kreatif untuk melihat kebijakan yang dibawa,” tegasnya.
Ia mencontohkan, ide-ide segar yang ada tidak bisa terdelivery dengan baik. Hal itu terjadi karena terbatas pada kekhawatiran yang sifatnya tidak terlalu substantif.
“Misalnya, ketika kata-kata di level pusat disini level provinsi sudah mulai ada pelonggaran atau sebagainya. Seharusnya inisiatif diambil teman-teman kota untuk melakukan apa yang kira-kira bisa dilakukan,” imbuhnya.
Lebih lanjut Muradi mengatakan, Bandung jangan dilihat sebagai kota biasa. Bandung itu destinasi yang mau tidak mau, suka tidak suka, dinamis.
“Maka kemudian, jika Bandung merasa nunggu saja dari pusat, pusat sudah mewacanakan soal new normal dan seharusnya dalam otonomi daerah Pemerintah Kabupaten/Kota bisa lebih responsif. Itu yang saya belum lihat, itulah yang saya sebut sebagai kreativitas kebijakan,” pungkasnya.
(Yusuf Mugni/ars)