JAKARTA,FOKUSJabar.id: Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengatakan, transaksi mencurigakan milik Rafael Alun Trisambodo dari Rp500 miliar nilai mutasinya, sebanyak Rp10 miliar di antaranya diduga adalah korupsi.
Mahfud MD menyebut, dari 40 rekening yang diduga terkait Rafael alun, lebih banyak mencerminkan transaksi tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Ya, mungkin korupsinya sedikit. Mungkin Rp10 miliar atau berapa gitu. Tapi, TPPU banyak. Kalau dia menerima uang, korupsinya Rp10 miliar karena gratifikasi, di dalam ilmu intelijen keuangan, ya di belakang dia, anaknya punya rekening berapa, kekayaan istrinya apa, uang dari mana. Kok bisa sampai punya enam perusahaan,” kata Mahfud di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat pada Jumat, (10/3/2023).
Dia mengatakan, dugaan transaksi TPPU itu rupanya sudah diendus oleh Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2012 lalu. Bahkan, laporan hasil analisis dan temuan transaksi mencurigakan Rafael Alun sudah dilaporkan oleh PPATK ke Kementerian Keuangan pada 2019 lalu.
BACA JUGA: Formappi Minta Puan Maharani Sering Ikut Rapat Paripurna
Namun, Inspektorat Jenderal di Kemenkeu justru tidak menindak lanjuti laporan tersebut. Irjen Kemenkeu, Awan Nurmawan Nuh, berdalih instansi tempatnya bekerja tak langsung menindak Rafael karena masih butuh pendalaman.
Sementara, Mahfud turut mengklarifikasi pernyataannya soal dugaan transaksi mencurigakan mencapai Rp300 triliun di Kemenkeu bukan karena perbuatan korupsi. Angka itu diduga adalah TPPU yang terjadi di Kemenkeu pada periode 2009 hingga 2023. Ada 467 pegawai Kemenkeu yang diduga terlibat dalam perbuatan TPPU tersebut.
Mahfud mengutip isi Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2017 terkait “optimalisasi laporan hasil analisis dan laporan hasil pemeriksaan PPATK”, yang menyebutkan setiap laporan oleh badan intelijen tersebut harus segera ditindaklanjuti. Hal serupa juga berlaku dengan akumulasi transaksi mencurigakan di Kemenkeu pada periode 2009 hingga 2023 yang mencapai Rp300 triliun.
“Jadi, dicek laporannya apa dan ditindaklanjuti,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Maka, dia berpikir seandainya ada permintaan ke kementerian untuk diselidiki tindak pencucian uang, maka hasil laporannya segera diteruskan ke aparat penegak hukum (APH), baik itu kepolisian, kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kalau tidak ada perkembangan dalam sebulan, harus diambil alih (oleh APH) lain dan dipindahkan (penanganannya),” tutur dia,
Mahfud menduga laporan tersebut mandek lantaran laporan PPATK diolah sendiri dan ketika tak berjalan, dilarang diambil alih oleh APH lain.
“Itu yang menyebabkan macet. Nanti, saya akan panggil, kok sekian lama tidak ada perkembangan. Maka, misalnya bisa dipindah dari kejaksaan ke KPK, tergantung kesepakatan pimpinan,” ujarnya.
Sementara, PPATK sudah memblokir 40 rekening milik Rafael dan keluarganya. Nilai mutasi di 40 rekening itu mencapai Rp500 miliar.
Mutasi rekening memuat informasi berbagai transaksi yang dilakukan oleh pemilik rekening, seperti kredit, debit, dan saldo, pada tanggal tertentu.
“Itu mutasi pada rekening yang kami bekukan. Bukan nilai dana,” ujar Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, saat dikonfirmasi, pada 7 Maret 2023 lalu.
Ivan menjelaskan tindakan itu hanya terkait dengan Rafael dan perusahaan atau badan hukum, tidak bersinggungan dengan pejabat pajak lainnya.
Selain diketahui memiliki 40 rekening dengan mutasi mencapai hampir setengah triliun, Rafael juga terafiliasi dengan enam perusahaan dan satu konsultan pajak. Padahal, KPK dengan tegas melarang pemeriksa di Ditjen Pajak dilarang rangkap pekerjaan menjadi konsultan.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengatakan sudah menerbitkan surat perintah pemeriksaan terhadap enam perusahaan dan satu konsultan pajak tersebut.
“Perusahaannya siapa saja, pertama GTA, kedua SKP, tiga PHA, empat CC, lima PDA, enam RR, dan yang ketujuh adalah SCR (konsultan pajak),” ungkap Suryo ketika memberikan keterangan pers pada 8 Maret 2023 lalu di gedung Kemenkeu.
Menurut Suryo, hal itu merupakan pengembangan dari klarifikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilakukan KPK. Dia menjelaskan, terhadap perusahaan-perusahaan itu ada potensi pajak yang masih harus dibayar.
“Oleh karena itu, nanti kami akan menerbitkan produk hukum sesuai dengan ketentuan, jika pemeriksaan yang terbit adalah ketetapan pajak,” tutur dia.
(Agung)