JAKARTA, FOKUSJabar.id: Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan menyatakan perpustakaan khusus adalah yang memberikan layanan kepada pemustaka di lingkungannya dan secara terbatas memberikan layanan kepada pemustaka di luar lingkungannya. Seringkali hal ini ditafsirkan secara sederhana, di mana layanan terbatas hanya untuk pegawai di lembaga tersebut.
Padahal sesungguhnya, layanan khusus dapat mengikutsertakan semua pemangku kepentingan atau stakeholder dari lembaga induk masing-masing. Dengan demikian, keberadaannya dapat menjadi bagian solusi masalah bagi semua lapisan masyarakat.
Sejak 2018, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI didukung oleh Kementerian PPN/Bappenas melaksanakan program perpustakaan bertransformasi menjadi perpus berbasis inklusi sosial. Melalui program ini, diberdayakan sebagai subsistem sosial dalam kemasyarakatan yang berkomitmen untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat pengguna perpustakaan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Kementan) Momon Rusmono menyebut misi utama Kementan terkait erat dengan perpus berbasis inklusi sosial. Dia menjelaskan, salah satu misi Kementan adalah mewujudkan ketahanan pangan dan gizi bagi 270 jiwa juta masyarakat Indonesia. Hal ini harus seiring dengan misi lainnya yakni mewujudkan kesejahteraan petani.
Baca Juga: Berbasis Inklusi Sosial, Konsep Perpusnas Jawaban Pandemi Covid-19
“Dapat terlihat benang merah antara misi Kementerian Pertanian untuk pemberdayaan masyarakat petani dengan tujuan dari berbasis inklusi sosial yaitu tentang bagaimana kita meningkatkan hidup dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat apabila perpustakaan konvensional telah bertransformasi menjadi berbasis inklusi sosial,” ungkap Momon dalam Seminar Nasional Perpustakaan 2021 dengan tema “Inovasi Mendukung Transformasi Perpustakaan Khusus Berbasis Inklusi Sosial” di The Westin Jakarta, pada Rabu (7/4/2021).
Dia menambahkan, perpustakaan konvensional yang telah bertransformasi harus mendukung peningkatan kualitas dan kesejahteraan petani. Momon menjelaskan yang bertransformasi tidak hanya menjadi rujukan informasi, tapi juga pustakawannya bisa menjadi agen informasi.
“Apabila perpustakaan konvensional telah bertransformasi menjadi berbasis inklusi sosial maka perpustakaan tersebut akan dicirikan oleh beberapa hal di antaranya koleksi buku merupakan wahana rujukan informasi untuk mencari solusi permasalahan, perpustakaan merupakan fasilitator pengembangan potensi pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan bahan informasi yang relevan, menjadi market space atau tempat masyarakat mengembangkan potensi dirinya, harus memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dalam melayani masyarakat, pustakawan merupakan agen informasi yang menjembatani antara masyarakat dengan informasi yang dibutuhkan,” lanjutnya.
Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando menyatakan dalam hal pemanfaatan lahan pertanian, Thailand dan Vietnam lebih unggul daripada Indonesia. Padahal, luas wilayah negara Vietnam jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia. Menurutnya, hal ini terjadi karena kemampuan petani di Indonesia belum optimal dalam mengolah lahan pertanian.
Baca Juga: Mensos: Perpustakaan Bisa Ubah Hidup Seseorang
“Vietnam dalam mengolah sumber daya alam contohnya singkong bisa menghasilkan berton-ton untuk pakan ternak ke Eropa, sedangkan di Indonesia tidak seperti itu. Padahal di Indonesia lebih banyak profesor, doktor dan master dalam bidang pertanian dibandingkan di Vietnam. Apa masalahnya? Semua profesor, doktor dan master di sini pintar, yang tidak pintar adalah petaninya,” jelasnya.
Lebih lanjut, Syarif Bando menjelaskan data Bappenas menyebut hanya 10 persen penduduk Indonesia yang menempuh perguruan tinggi, sedangkan sisanya yakni 90 persen terjun ke masyarakat hanya bermodalkan ijazah SD dan SMP. Menurutnya, mereka adalah segmen yang sangat potensial untuk diedukasi melalui perpustakaan. Sebagai pusat ilmu pengetahuan dan informasi berperan menjadi pusat transfer ilmu kepada masyarakat, khususnya petani.
“Perpustakaan harus mampu mentransfer pengetahuan kepada stakeholder-nya, dalam hal ini petani. Dengan demikian, para petani dapat menggunakan ilmu yang didapat dan menjelma seperti penyuluh pertanian dalam mengolah lahan pertanian yang ada,” ujarnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Subandi Sardjoko meminta Kementan menyinergikan seluruh sumber daya yang dimiliki dalam melaksanakan transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial. Dia berharap agar literasi bisa menjadi basis untuk para penyuluh, petani, maupun masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Sehingga koleksi buku dan penyuluh bisa benar-benar mendukung pembangunan pedesaan.
Baca Juga: Pelayanan Publik Perpusnas Raih Predikat “Sangat Baik” dari Kementerian PANRB
“Di dalam visi Indonesia 2045 ini, kita mempunyai cita-cita agar manusia Indonesia menjadi manusia yang unggul dan berbudaya serta menguasai ilmu pengetahuan maupun teknologi, kemudian juga memiliki pembangunan yang merata dan inklusif. Jadi dapat dilakukan dan diakses dan dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat dan juga ekonomi yang maju dan berkelanjutan dan menjadi negara yang demokratis yang kuat dan negara yang bersih,” jelasnya.
Subandi menambahkan ada empat pilar untuk mendukung cita-cita ini yaitu membangun manusia yang menguasai iptek, membangun ekonomi yang berkelanjutan, pemerataan pembangunan dan pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.
(Erwin)