BANDUNG,FOKUSJabar.id: Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat menggelar Members Gathering dan Diskusi Publik dengan mengangkat tema Kepastian Hukum Struktur dan Skala Upah di Hotel Luxton, Jalan Ir. H. Djuanda (Dago) Bandung, Minggu (20/10/2024). Kegiatan digelar dalam upaya mencari kejelasan terkait polemik Struktur dan Skala Upah serta mempererat silaturahmi antar anggota.
Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan Gubernur Jabar terkait penetapan besaran Struktur dan Skala Upah (SUSU) bagi pekerja menjadi isu krusial di Jawa Barat. KepGub Jawa Barat No. 561/Kep.874-Kesra/2021 dan KepGub Jawa Barat No. 561/Kep.882-Kesra/2022 mengenai Penyesuaian Upah bagi Pekerja dengan Masa Kerja Satu Tahun atau Lebih telah menimbulkan ketidakpastian hukum di kalangan dunia usaha.
APINDO Jawa Barat telah mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan terhadap KepGub No. 561/Kep.874-Kesra/2021 dan telah dimenangkan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Namun, di tingkat kasasi, gugatan APINDO Jabar terhadap kepgub tersebut kalah meski sebelumnya telah diterbitkan KepGub Jabar terbaru bernomor 188.44/Kep.783-Kesra/2023 yang mencabut kedua KepGub tentang Struktur dan Skala Upah (SUSU).
Dalam kegiatan diskusi publik yang menghadirkan dua orang narasumber yakni Ketua MAKI Boyamin Saiman dan ahli hukum tata negara Ahmad Redi, dilakukan pembahasan terkait polemik tersebut. Hadir pula dalam acara yakni Kepala BPS Jabar Darwis Sitorus, S.Si., M.Si., Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Pasundan Prof. Dr. Asep Dedy Sutrisno, para Anggota Luar Biasa APINDO Jabar, Dewan Pimpinan Harian APINDO Jabar, para Ketua DPK APINDO Kabupaten/Kota di Jabar, Dewan Pengupahan Provinsi (DEPEPROV) Jabar, serta mahasiswa dari berbagai universitas seperti Universitas Islam Bandung, Universitas Jenderal Achmad Yani, dan Sekolah Tinggi Hukum Bandung.
“Kedua KepGub tersebut problematik dalam konteks hukum. Dalam UU Cipta Kerja ditegaskan jika pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah (SUSU). Jadi, satu-satunya entitas hukum di Indonesia yang berwenang menyusun SUSU adalah pengusaha. Bukan gubernur, bukan bupati, bukan wali kota, bukan Menteri Tenaga Kerja, bahkan bukan Presiden,” kata ahli hukum tata negara, Ahmad Redi.
Dalam PP No. 36 Tahun 2021 yang merupakan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja, lanjut dia, ditegaskan kembali jika satu-satunya subjek hukum yang bisa menyusun SUSU adalah pengusaha. Baik dalam hal menentukan persentase, golongan, jabatan, dan indikator penentuannya. “Dan hal ini bersifat wajib,” Ahmad Redi menegaskan.
Selain itu, kata dia, peraturan tersebut dipertegas dalam Permenaker No. 1 Tahun 2017 yang menyebutkan jika SUSU dibuat oleh pengusaha. Sehingga, selama mengikuti UU Cipta Kerja, PP Pengupahan, dan Permenaker, maka tidak boleh menegasikan ketentuan tersebut.
“Tindakan Gubernur saat itu, jelas merupakan penyalahgunaan wewenang. Tidak ada satu pun aturan dalam Undang-Undang Cipta Kerja, PP, atau Permenaker yang memberikan kewenangan atributif kepada gubernur untuk membuat struktur dan skala upah. Jadi keputusan yang dibuat oleh Pak Gubernur sebelumnya telah melampaui kewenangannya, bahkan sewenang-wenang dalam membuat keputusan SUSU. Jadi kedua kepgub tersebut cacat substansif,” Ahmad Redi menjelaskan.
“Keputusan yang mengatur besaran SUSU sebesar 6,12% hingga 10%, adalah sesat secara substansif karena di Permenaker telah diatur bagaimana cara menghitungnya dan ada formula yang jelas. Sehingga hal ini tidak bisa diputuskan secara sembarangan,” dia menegaskan.
Sementara Ketua MAKI Boyamin Saiman mengatakan, putusan kasasi tentang gugatan KepGub No. 561/Kep.882-Kesra/2022 yang mengalahkan APINDO itu seharusnya tidak berlaku. Pasalnya, kedua KepGub tentang SUSU telah dicabut PJ Gubernur yang artinya objek hukumnya sudah tidak ada lagi.
“Selain itu, KepGub tentang pencabutan 2 KepGub tersebut sampai sekarang belum pernah diuji. Kalaupun diuji sekarang maka sudah terlambat, karena telah melewati batas waktu 90 hari sejak KepGub pencabutan tersebut terbit. Kita malu pada hukum di Indonesia di mana ada dua putusan level kasasi yang sangat berbeda dengan tema yang sama,” Boyamin menuturkan.
Boyamin Saiman menyarankan upaya judicial review terhadap Pasal 90A UU Ciptaker untuk menegaskan pentingnya melindungi seluruh warga negara. Termasuk para pengusaha yang berkontribusi besar dalam menciptakan lapangan kerja dan mendukung perekonomian.
“Intervensi kekuasaan dalam kesepakatan antara pengusaha dan pekerja yang diatur dalam pasal tersebut perlu ditinjau ulang agar sesuai dengan semangat konstitusi, khususnya alinea keempat UUD 1945 yang mengamanatkan perlindungan bagi seluruh warga negara, sehingga negara harus hadir untuk memastikan adanya perlindungan yang adil bagi kedua belah pihak,” kata Boyamin.
Ketua APINDO Jabar Ning Wahyu Astutik mengatakan, persaingan dunia usaha pada saat ini sangat ketat. Tidak hanya antarnegara, tetapi juga antarprovinsi dan bahkan antarkabupaten/kota.
Untuk itu, pihaknya menyoroti tingginya UMK di Jawa Barat. Bahkan 4 dari 5 daerah dengan UMK tertinggi di Indonesia berada di Jawa Barat yakni Kota Bekasi, Kab Karawang, Kabupaten Bekasi, dan Kota Depok.
“Apabila ditambah dengan penetapan besaran Struktur dan Skala Upah (SUSU), hal ini semakin menurunkan daya saing Jabar,” kata Ning Wahyu.
Meski menjadi tujuan investasi terbesar di Indonesia dengan realisasi investasi mencapai Rp210 triliun atau 14,8% dari total nasional sebesar Rp1.418 trilyun, lanjut Ning Wahyu, banyak perusahaan yang justru melakukan relokasi ke luar Jawa Barat atau bahkan tutup. Dari 2019 hingga 2022, tercatat ada 29 perusahaan padat karya yang relokasi ke Jawa Tengah dan pada 2023 setidaknya lima perusahaan besar tutup dengan total 15 ribu karyawan ter-PHK.
“Pada 2024 hingga Juli, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 5.500 karyawan di Jawa Barat telah terkena PHK,” Ning menambahkan.
Terkait dengan KepGub Jabar tentang SUSU, Ning Wahyu menilai jika Gubernur Jabar saat itu yakni Ridwan Kamil telah menyalahi aturan. Pihaknya mengimbau para pengusaha untuk tidak mengikuti aturan yang salah karena akan semakin memperbanyak pabrik yang berpotensi tutup.
“Kami berharap segala bentuk politisasi yang berkaitan dengan dunia usaha segera dihentikan, karena hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan sangat memberatkan para pengusaha yang saat ini pun sudah menghadapi banyak tantangan, baik terkait dengan persaingan, produktivitas, geopolitik, perizinan, dan banyak lagi. Edukasi dan pemahaman yang jelas mengenai berbagai regulasi kepada para pengambil keputusan dan pembuat kebijakan pun menjadi sangat penting sehingga tidak menimbulkan keresahan serta ketidakpastian di kalangan pelaku usaha yang pada akhirnya dapat mengganggu kelancaran operasional investasi dan kondusivitas dunia usaha,” Ning Wahyu menegaskan.
(Ageng)