BANDUNG,FOKUSJabar.id: Pusat Studi Hukum, Pembangunan, dan Masyarakat (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) gelar bedah buku berjudul ‘Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming’ yang diterbitkan oleh CLDS FH UII bekerja sama dengan PT Raja Grafindo Persada (Rajawali).
Buku tersebut menyoroti proses persidangan yang dianggap penuh kekhilafan dalam kasus tindak pidana korupsi Mardani H. Maming.
Acara bedah buku ini turut dihadiri oleh para ahli hukum terkemuka, termasuk Prof. Dr. Romli Atmasasmita, Prof. Dr. Yos Johan Utama, dan Prof. Dr. Topo Santoso, yang semuanya memberikan pandangan mendalam terkait putusan pengadilan terhadap Mardani H. Maming. Tim eksaminator yang terdiri dari berbagai pakar hukum juga terlibat dalam penyusunan buku ini, seperti Prof. Dr. Ridwan Khairandy, Dr. Mudzakkir, dan Dr. Eva Achjani Zulfa.
Dalam diskusinya, Prof. Dr. Romli Atmasasmita menyoroti sejumlah kekeliruan yang terjadi dalam putusan pengadilan.
“Setelah melakukan kajian hukum atas putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Kasasi, dapat disimpulkan bahwa putusan tersebut dibangun dengan konstruksi hukum yang tidak mempertimbangkan fakta-fakta hukum dan bukti-bukti yang ada di persidangan. Putusan yang diambil lebih didasarkan pada asumsi dan imajinasi daripada fakta konkret yang terungkap di persidangan,” kata Romli dalam keterangan tertulis Senin (7/10/2024).
Baca Juga:Bedah Buku Eksaminasi Perkara Mardani H.Maming, Pakar Hukum Sebut Tuntutan Terlalu Dipaksakan
Prof. Romli menjelaskan, bahwa dakwaan terhadap Mardani H. Maming tidak didukung oleh bukti yang memadai. Pasalnya, bahwa tuduhan penerimaan uang terhadap terdakwa sebenarnya merujuk pada tagihan perusahaan berdasarkan perjanjian kerja sama yang sah dan telah memiliki kekuatan hukum tetap.
“Dakwaan ini tampak dipaksakan, karena fakta di persidangan justru menunjukkan bahwa transaksi yang terjadi merupakan kewajiban perusahaan yang sah sesuai perjanjian,” jelasnya.
Menurutnya, jika memang ada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, maka pelanggaran tersebut lebih tepat dipandang sebagai pelanggaran administratif, bukan pidana
“Penerapan UU Tipikor secara serampangan dapat menciptakan ketidakadilan dan bertentangan dengan Pasal 14 UU Tipikor, yang sebenarnya bertujuan membatasi ruang lingkup penerapan hukum pidana korupsi agar tidak disalahgunakan,”ucapnya.
Lebih lanjut Prof. Romli mengatakan, bahwa putusan kasasi dalam kasus ini secara kasat mata mengandung kekhilafan yang nyata dan memenuhi alasan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Sebab, terdapat fakta baru yang tidak pernah dipertimbangkan dalam putusan sebelumnya, dan fakta tersebut seharusnya menjadi dasar yang kuat bagi Mahkamah Agung untuk membebaskan terdakwa dari semua tuntutan hukum.
“Hal ini adalah contoh bagaimana kesalahan dalam proses peradilan dapat berakibat fatal bagi keadilan bagi seorang terdakwa,”ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. Yos Johan Utama, menambahkan pandangannya terkait ketidakcermatan dalam proses hukum yang terjadi.
Menurutnya, pemberian izin usaha yang dilakukan oleh Mardani H. Maming sebagai Bupati Tanah Bumbu telah dilakukan sesuai dengan prosedur dan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
“Tindakan Mardani dalam menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) telah memenuhi semua syarat administrasi yang ditetapkan, sehingga tidak seharusnya dianggap sebagai tindakan melanggar hukum,” kata Yos.
Sementara itu, Prof. Dr. Topo Santoso menyoroti kekurangan dalam proses penuntutan, di mana pihak yang dituduh sebagai pemberi suap, Alm. Hendry Setio, tidak pernah diperiksa.
“Bagaimana mungkin dakwaan suap dapat dibuktikan tanpa adanya pemeriksaan terhadap pihak pemberi suap?” kata Topo.
Lebih lanjut Topo menyampaikan, dalam dakwaan jaksa bahkan menyebut adanya kesepakatan diam-diam antara pihak-pihak terkait, yang dalam hukum pidana tidak dikenal. Hal ini menunjukkan lemahnya bukti dan dasar hukum yang digunakan dalam perkara ini.
Salah satu aspek yang menjadi sorotan dalam eksaminasi ini adalah penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terhadap dugaan pelanggaran administratif.
Baca Juga:Ajukan Eksepsi, Johnny G Plate Bantah Terlibat Korupsi BTS Kominfo
Salah satu anggota tim eksaminator Eva Achjani Zulfa, menyampaikan, penegakan hukum yang tidak berdasarkan bukti konkret akan mencederai rasa keadilan masyarakat dan dapat menghilangkan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.
“Sistem peradilan kita harus memastikan bahwa setiap keputusan diambil dengan pertimbangan yang matang, berdasarkan fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga keadilan bagi semua pihak dapat terwujud,” ujar Eva.
(Yusuf Mugni)