BANDUNG,FOKUSJabar.id: Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat dengan tegas menolak pemberlakukan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 18 tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum tahun 2023 yang terbit pada Sabtu (19/11/2022). Peraturan tersebut menjelaskan jika kenaikan upah minumum provinsi (UMP) yang efektif berlaku pada tahun 2023 ditetapkan naik tak lebih dari 10 persen.
Ketua DPP Apindo Jabar, Ning Wahyu Astutik mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan lahirnya Permenaker Nomor 18 tahun 2022 yang telah terbit dengan formulasi perhitungan upah yang baru. Kondisi ini mencerminkan tidak adanya kepastian hukum dan juga kepastian usaha.
Formulasi penetapan UMP berdasarkan Permenaker tersebut adalah nilai upah minimum merupakan penjumlahan antara inflasi dengan perkalian pertumbuhan ekonomi dan α (alfa). Variabel alfa merupakan indeks tertentu yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dengan nilai tertentu dalam rentang 0,10 sampai dengan 0,30.
Variabel pertumbuhan ekonomi bagi UMP dihitung menggunakan data pertumbuhan ekonomi provinsi kuartal 1 sampai dengan 3 tahun berjalan dan kuartal 4 tahun sebelumnya terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi kuartal 1 sampai dengan 3 di tahun sebelumnya dan kuartal 4 pada 2 tahun sebelumnya. Sedangkan variabel pertumbuhan ekonomi bagi UMK dihitung menggunakan data pertumbuhan ekonomi kabupaten kota Kuartal 1 sampai dengan 4 tahun sebelumnya terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten kota Kuartal 1 sampai dengan 4 pada 2 tahun sebelumnya.
“Prinsip UMK yang merupakan upah sebagai safety net pekerja di tingkat buruh dan upaya untuk mengurangi disparitas yang besar antara Kabupaten/Kota, menjadi terlanggar karena hasil simulasi dengan formula yang baru. Ini justru menunjukkan jika daerah yang sebelumnya sudah memiliki UMK melebihi ambang batas atas seperti Kabupaten Bogor, Purwakarta, Karawang, dan Kabupaten Bekasi dengan formula baru ini akan mengalami kenaikan jauh lebih besar dari wilayah/daerah dengan UMK rendah seperti Ciamis, Kab. Banjar, Kuningan, Pangandaran dan lainnya. Setelah tercabik Covid-19 lalu mengalami goncangan turunnya order orientasi export akibat krisis global, melimpahnya barang-barang import yang membuat pasar domestik makin sempit untuk produk lokal, maka hampir bisa dipastikan pengurangan pekerja secara massive akan terus terjadi,” Ning menuturkan.
BACA JUGA: Bullying di SMP, DP3A Kota Bandung Segera Bertindak
Formula tersebut, kata Ning, cukup aneh karena membuat UMK-UMK yang tingginya diatas ambang batas akan mendapatkan kenaikan yang juga jauh lebih tinggi dibanding daerah lain. Hal ini merupakan pukulan telak pada industri-industri padat karya didaerah tersebut, yang justru sudah hampir tiap tahun berjuang mendapatkan upah khusus padat karya untuk survive.
Terlebih lagi, pemerintah yang awalnya ingin mempersempit disparitas antar upah didaerah justru sekarang membangun jurang kecemburuan antar daerah dengan makin besarnya perbedaan upah diantara mereka. “Apa nanti akan dibiarkan terjadi kejar-kejaran
upah, yang rendah ngejar yang tinggi dengan mengganti lagi formula? Terus terang, pengusaha khawatir sekali dan merasa tidak pasti,” kata dia.
Selain itu, kehadiran Permenaker dinilainya melanggar hirearki peraturan. Pasalnya, ada peraturan yang lebih tinggi terkait pengupahan yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 yang merupakan aturan turunan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja.
“Bagaimana permenaker melawan PP. Ini sungguh bahaya apabila peraturan yang lebih tinggi bisa dilawan oleh peraturan dibawahnya. Berarti bisa dong Keputusan Gubernur dilawan Keputusan Bupati/Wali Kota atau Keputusan Bupati/Wali Kota dilawan Keputusan Camat. Ini bahaya sekali, bagaimana kedudukan hukum tata Negara ini,” Ning menegaskan.
Terbitnya Permenaker Nomor 18 Tahun 2022, kata Ning, telah melanggar hasil keputusan MK. Keputusan tersebut dinyatakan untuk menangguhkan segala tindakan dan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) hingga dua tahun.
“Berarti hingga tahun 2023 sampai proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan revisi selesai, tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana terkait pengupahan,” Ning menambahkan.
Dalam kondisi Indonesia yang akan menghadapi resesi global di tahun 2023 yang kemungkinan berimplikasi pada industri berorientasi eksport, hasil terhitung UMP dan UMK 2023 dengan formula baru akan membuat industri di Indonesia. Jawa Barat, kata Ning, akan mengalami periode paling sulit dan mungkin akan lebih sulit dari masa COVID-19.
“Seperti yang telah disampaikan Bapak Presiden Jokowi pada saat memberikan sambutan dihadapan Menteri, Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pimpinan BUMN, Pangdam, Kapolda, Kajati, pada Bulan September 2022 lalu. Tiap hari kita selalu diingatkan dan kalau kita baca baik di media sosial, di media cetak, di media online semuanya mengenai resesi global, tahun ini sulit dan tahun depan sekali lagi saya sampaikan akan gelap. Kita tidak tahu badai besarnya seperti apa, sekuat apa, tidak bisa dikalkulasi,” Ning menerangkan.
“APINDO sangat prihatin dengan keadaan ini karena akan membuat dunia usaha makin terpuruk setelah baru mulai recovery akibat pandemic COVID-19, menghadapi resesi global, dan sekarang ditimpa pergantian sistem pengupahan yang lebih memberatkan dunia usaha. Para anggota APINDO menyampaikan jika mereka dihadapkan pada pilihan yang sangat berat yaitu pengurangan pekerja atau Tutup Usaha,” Ning menegaskan.
(Ageng)