BANDUNG,FOKUSJabar.id: Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyiapkan sejumlah langkah mitigasi guna mencegah perluasan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat Taufik Garsadi mengatakan angka PHK sektor padat karya di Jawa Barat terpantau tinggi.
Pihaknya menghimpun data PHK dari berbagai sumber dan stakeholder, antara lain data perselisihan hubungan industrial di kabupaten/kota, data laporan potensi/rencana PHK dari 25 perusahaan binaan Better Work Indonesia (BWI)-ILO, data laporan PHK dari anggota APINDO di 14 kabupaten/kota, kemudian BPJS Ketenagakerjaan dan laporan lainnya.
BACA JUGA: Kasus Covid-19 Meningkat, Mobilitas Masyarakat Kota Bandung Kembali Dibatasi
Rinciannya data dari perselisihan hubungan industri di kabupaten/kota sebanyak 4.155 orang, data BWI-ILO ada 47.539 orang, kemudian data sementara APINDO 79.316 orang, lalu data peserta non aktif BPJS Ketenagakerjaan 146.443 orang.
“Data PHK yang tidak terlaporkan baik melalui Dinas, APINDO, Serikat Pekerja, BWI maupun pekerja yang tidak menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan /tidak mengklaim Jaminan Hari Tua (JHT) jumlahnya bisa lebih besar lagi,” katanya di Bandung, Selasa (15/11/2022).
Taufik mengaku kondisi ini yang memicu data tingkat pengangguran terbuka di Jawa Barat menjadi tinggi dan melahirkan kasus PHK massal di industri padat karya. Dari hasil penelusuran dan penelaahan Disnakertrans, penyebab kondisi ini datang dari berbagai sebab eksternal dan internal.
“Penyebabnya antara lain dampak langsung dari pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir, lalu terjadinya perlambatan ekonomi dunia yang menyebabkan berkurangnya permintaan produk padat karya Jawa Barat, ditambah adanya perang Ukraina dan Rusia,” kata dia.
Dari sisi internal provinsi kenaikan UMK di sejumlah kabupaten/kota di Jawa Barat yang terlalu tinggi membuat kemampuan pengusaha di sektor padat karya membayarkan kewajiban tidak semuanya merata, kemudian adanya alihdaya teknologi dan metode kerja di sejumlah industri yang menurunkan kebutuhan pada sumber daya manusia.
“Dari sisi internal perusahaan terjadi pula kesalahan pengelolaan bisnis dan peningkatan biaya produksi,” katanya.
Taufik mengatakan pihaknya sudah melakukan sejumlah langkah mitigasi, antara lain melakukan pendampingan dan pembinaan pada perusahaan.
“Sebelum Perusahaan melakukan PHK disarankan untuk melakukan langkah-langkah yang kami usulkan,” katanya.
Langkah mitigasi yang akan dilakukan itu yakni melakukan efisiensi, dengan cara mengurangi upah dan fasilitas pekerja level atas, misalnya tingkat manajer dan direktur, Mengurangi shift kerja, Membatasi/menghapuskan kerja lembur, Mengurangi jam kerja; Mengurangi hari kerja. Kemudian meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu, tidak memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya, memberikan pensiun dini bagi yang sudah memenuhi persyaratan.
Guna menyikapi perlambatan ekonomi global, Disnakertrans menurut Taufik, sejak Bulan Januari 2022 terus berkoordinasi dengan BWI-ILO agar dapat bernegosiasi dengan buyer untuk memberikan relaksasi terkait “kepatuhan aturan ketenagakerjaan” dan dicarikan potensi-potensi pasar baru di luar pangsa pasar Eropa dan Amerika.
Sementara untuk persoalan adanya daerah yang memiliki UMK tinggi, pihaknya melakukan pemetaan dan koordinasi antar lembaga untuk cipta kondisi penetapan Upah Minimum Tahun 2023 sesuai dengan ketentuan.
“Kami mendorong asosiasi dan perkumpulan pengusaha di sektor padat karya untuk membuat kesepakatan relaksasi kebijakan pengupahan kepada pemerintah pusat khususnya bagi daerah kantung-kantung Industri Padat Karya,” kata dia
Taufik juga melansir pihaknya melakukan pembentukan Tim Komisi Depeprov Jabar untuk membuat kajian terkait perundingan Upah secara bipartit sebagai langkah antisipatif tidak adanya kebijakan penyelamatan Industri Padat Karya. Sampai meminta kepada Presiden untuk mengeluarkan kebijakan relaksasi pengupahan khususnya bagi daerah-daerah yang memiliki UMK tinggi.
Untuk menyikapi kondisi adanya alih daya teknologi dan metode kerja, pihaknya sudah mendorong pengoptimalisasian Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP); Penyediaan pelatihan (upskilling dan reskilling) bagi para pekerja yang ter PHK maupun para pencari kerja melalui program Kartu Prakerja;
“Kemudian penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi para pekerja yang ter PHK yang akan memulai usaha rintisan; Memberikan layanan digital SIAPkerja berupa akses ke pelatihan-pelatihan dan pasar kerja,” tuturnya.
BACA JUGA: Anggota DPRD Ciamis Segera Fasilitasi Rumah Warga Roboh Akibat Hujan Deras
Sementara saat pandemi Covid-19, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk penyelamatan industri yang terdampak khususnya untuk industri padat karya. Salah satunya diktum 7d” dalam Kepgub Nomor 561/Kep.983-Yanbangsos/2019 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2020.
“Bunyinya, “Dalam hal pengusaha termasuk industri padat karya tidak mampu membayar Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2020 sebagaimana Diktum KEDUA, pengusaha dapat melakukan perundingan bipartit bersama pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh di tingkat perusahaan dalam menentukan besaran upah, dengan persetujuan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat”.
Pihaknya menegaskan upaya mitigasi dilakukan oleh pihak serikat pekerja dan pengusaha guna mencegah meluasnya angka PHK massal.
“Sesuai UU 13 tahun 2003, pencegahan terjadinya PHK bukan hanya kewajiban pemerintah, tapi serikat pekerja dan pengusaha,” pungkasnya.