spot_img
Sabtu 4 Mei 2024
spot_img
More

    Sengketa Tanah Picu Konflik Antaretnis di Sudan, Lebih dari 220 Tewas

    SUDAN,FOKUSJabar.id: Lebih dari 220 orang tewas akibat perang antarsuku di Sudan. Tragedi pilu ini menjadi salah satu episode kekerasan etnis paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir.

    Pertempuran di provinsi Nil Biru, yang berbatasan dengan Ethiopia dan Sudan Selatan, muncul kembali bulan ini karena sengketa tanah. Konflik itu mengadu domba orang Hausa, yang berasal dari Afrika Barat, melawan komunitas Berta.

    Al Jazeera memberitakan, ketegangan meningkat pada Rabu dan Kamis di kota Wad al-Mahi di perbatasan dengan Ethiopia.

    Kerusuhan menambah kesengsaraan negara yang terperosok dalam konflik sipil dan kekacauan politik.

    Direktur jenderal kementerian kesehatan Nil Biru, Fath Arrahman Bakheit, mengatakan bahwa para pejabat telah melakukan perhitungan soal jumlah korban tewas, yang mencapai 220 orang, pada Minggu (23/10/2022).

    BACA JUGA: Malaysia Bakal Gelar Pemilu 19 November 2022, Setahun Lebih Cepat

    Dia menyebut, tersebut bisa jauh lebih tinggi, karena semua tim medis belum mampu mencapai pusat konflik.

    Bakheit mengatakan, konvoi kemanusiaan dan tim medis gelombang pertama mencapai Wad al-Mahi pada Sabtu malam untuk menilai situasi, termasuk menghitung jumlah mayat, dan menangani puluhan orang yang terluka.

    “Dalam bentrokan seperti itu, semua orang kalah. Kami berharap ini segera berakhir dan tidak pernah terjadi lagi, tetapi kami membutuhkan intervensi politik, keamanan, dan sipil yang kuat untuk mencapai tujuan itu,” kata Bakheit, seperti dilansir IDN.

    Rekaman dari tempat kejadian menunjukkan rumah yang terbakar dan tubuh yang hangus. Ada juga potret perempuan dan anak-anak yang melarikan diri dengan berjalan kaki.

    Banyak rumah telah terbakar dalam pertempuran tersebut, yang membuat sekitar 7 ribu orang mengungsi ke kota Rusyaris. Lainnya telah pergi ke provinsi tetangga, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan.

    Secara keseluruhan, sekitar 211 ribu orang telah mengungsi akibat kekerasan suku dan serangan lain di seluruh negeri tahun ini.

    Pihak berwenang memerintahkan jam malam di Wad al-Mahi dan mengerahkan tentara ke daerah itu. Mereka juga membentuk komite pencari fakta untuk menyelidiki pertempuran itu, lapor kantor berita SUNA.

    Hiba Morgan dari Al Jazeera, melaporkan dari Khartoum, mengatakan orang-orang tidak senang dengan tanggapan dari pemerintah.

    “Masyarakat menuntut gubernur daerah mundur karena penanganan situasi. Mereka mengatakan bahwa pasukan keamanan tidak memihak dan beberapa dari mereka memihak dalam konflik. Mereka menuntut agar pasukan keamanan mengambil sikap netral dan mengakhiri kekerasan,” jelas Morgan.

    Pertempuran antara kedua kelompok itu pertama kali meletus pada pertengahan Juli dan menewaskan sedikitnya 149 orang pada awal Oktober. Ini memicu demonstrasi dan ketegangan antara dua kelompok etnis di Blue Nile dan provinsi lainnya.

    Pertempuran terakhir terjadi pada saat kritis bagi Sudan, hanya beberapa hari sebelum ulang tahun pertama kudeta militer yang semakin menjerumuskan negara itu ke dalam kekacauan.

    Kudeta itu menggagalkan transisi menuju demokrasi setelah hampir tiga dekade di bawah pemerintahan represif Omar al-Bashir, yang digulingkan pada April 2019 oleh pemberontakan rakyat.

    Dalam beberapa pekan terakhir, militer dan gerakan pro-demokrasi telah terlibat dalam pembicaraan untuk mencoba mencari jalan keluar dari situasi tersebut. Para jenderal setuju mengizinkan warga sipil menunjuk seorang perdana menteri untuk memimpin negara itu melalui pemilihan umum dalam waktu 24 bulan, kata gerakan pro-demokrasi pekan lalu.

    Kekerasan di Blue Nile kemungkinan akan memperlambat upaya tersebut. Kelompok-kelompok protes, yang menolak kesepakatan dengan para jenderal yang berkuasa, telah mempersiapkan demonstrasi antimiliter pada Selasa (25/10/2022).

    (Agung)

    Berita Terbaru

    spot_img