YOGYAKARTA,FOKUSJabar.id: SMA Negeri 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, belakangan menjadi sorotan lantaran diduga memaksa siswi menggunakan hijab, hingga akhirnya siswi tersebut memilih ke luar sekolah.
Menyikapi kondisi tersebut, Kadivwasmonev Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra meminta persoalan tersebut disikapi serius, sebab akan menimbulkan stigma berkepanjangan.
“Saya kira sangat penting pemanggilan dinas pendidikan yang abai terhadap peristiwa peristiwa seperti ini, kita perlu shock therapy buat birokrasi kita agar sadar tugasnya,” kata Jasra, Rabu (3/8/2022).
Jasra mengatakan, KPAI bersama KPAID Yogyakarta langsung merespons kasus ini dengan mendatangi berbagai pihak, mulai dari keluarga siswa, Ombusman Yogyakarta, Disdikpora Yoyakarta dan sekolah, karena semua pihak punya kewajiban menegakkan Undang Undang Perlindungan Anak dan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional.
BACA JUGA: Pengacara Sebut Pankreas dan Kantung Kemih Brigadir J Hilang
“KPAI sangat menyayangkan bahwa dunia pendidikan kita masih suram ketika menyelesaikan persoalan seperti ini, kemudian sangat tidak peka terhadap suara dan pendapat anak, yang merupakan hak yang harusnya dihormati, didengar dan dipertimbangkan pendapatnya,” kata dia.
Selain itu, KPAI akan segera memanggil Kepala Dinas Pendidikan DIY dan kepala sekolah terkait pamaksaan memakai jilbab di sekolah SMAN tersebut.
Jasra menyayangkan dampak buruk terhadap psikis anak, sehingga tanpa penyelesaian, tiba-tiba anak telah pindah sekolah.
“Cara-cara seperti ini tidak boleh terus terjadi di dunia pendidikan kita,” katanya, seperti dilansir IDN.
Jasra melihat dalam UU Perlindungan Anak sejatinya guru menjadi pelindung anak dari kekerasan fisik dan psikis, bukan mengeluarkan dari sekolah. Namun dalam peristiwa ini, guru BK diduga melanggar undang-undang tersebut.
“Apa yang terjadi dengan cara berpikir guru BK kita? Jika terbukti guru tersebut melakukan pelanggaran, sangat perlu dilakukan tindakan tegas, sehingga tidak pengulangan ke depannya. Karena seorang guru, apalagi guru BK, seharusnya memiliki kompetensi dan profesionalitas dalam mendampingi anak anak yang perlu curhat atas kondisi tekanan psikologisnya, bukan dengan mengeluarkan anak,” katanya.
“Tentu kita terbayang, wajah menyeramkan BK di depan murid-muridnya, tidak hanya pada persoalan ini saja, juga persoalan lainnya. Bahkan bisa mematahkan secara baik, minat dan bakat anak yang harusnya bisa dikembangkan. Apalagi biasanya sekolah SMAN 1 adalah anak-anak pilihan, yang tentu dianggap sekolah memiliki potensi besar dalam diri siswa. Apakah karena hanya persoalan hijab, menutup semua potensi anak? Apakah tidak ada acara lain dalam mengenalkan hijab?,” kata dia.
(Agung)