BANDUNG,FOKUSJabar.id: Mengejar target zero stunting pada tahun 2023 menjadi fokus Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat. Beberapa langkah sudah disiapkan untuk merealisasikan target Gubernur Jabar, M. Ridwan Kamil tersebut.
Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Barat Wahidin mengatakan, angka prevalensi stunting di Jabar saat ini berada di 24,5 persen setara dengan angka di tingkat nasional yakni 24,4 persen. Angka ini mengalami penurunan yang cukup siginifikan dari tahun 2018 yang mencapai 31,5 persen.
“Angka ini terlihat besar karena memang jumlah penduduk Jabar yang besar, hampir 20 persen kasus stunting secara nasional ini ada di Jabar. Karena itu Jabar menjadi fokus nasional, karena jika maslaah stunting di Jabar selesai maka 20 persen masalah secara nasional terselesaikan,” kata Wahidin kepada wartawan di Bandung, Senin (25/4/2022) malam WIB.
Wahidin menambahkan, disparitas angka stunting antar kota dan kabupaten di Jabar masih cukup lebar. Angka tertinggi di 35 persen, tapi di sisi lain ada yang sudah berada di bawah standar nasional sesuai arahan dan target Presiden di 2024 yakni 14 persen.
“Daerah yang sudah dibawah standar nasional itu Kota Depok dan Kota Bekasi, angkanya stuntingnya sudah dibawah 14 persen yakni 12 persen,” kata dia.
Target zero stunting, lanjut Wahidin, bukan berarti tidak ada lagi kasus stunting di Jabar pada tahun 2023. Namun bagaimana mengurangi angka stunting di Jabar saat ini dengan tidak munculnya kasus baru stunting.
“Jadi artinya bukan tidak ada stunting lagi, tapi tidak ada kasus stunting baru. Sehingga tugas kita kedepan adalah bagaimana melakukan pendampingan, mengedukasi, hingga memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait stunting ini dan cara pencegahannya sehingga tidak lagi muncul kasus baru,” Wahidin menerangkan.
Wahidin menilai, edukasi ke warga menjadi hal penting dalam strategi mencegah stuting. Termasuk peran dari media dalam mengedukasi warga.
Sejauh ini, kata dia, pola perilaku dan pola asuh orang tua masih menjadi masalah utama munculnya kasus stunting. Pasalnya, kondisi bayi sesaat usai lahir sehat namun karena pola asuh yang salah membuat anak mengalami stunting.
“Stunting itu kan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pertumbuhan terkait tinggi (pendek) atau berat badan, sedangkan pemkembangan terkait pada otaknya. Dan itu semua tergantung pada asupan gizi anak saat masa pertumbuhan dan perkembangan sehingga fokus utama itu sejak masa kehamilan, kelahiran, pasca lahir, serta pola asuh orangtua,” dia menjelaskan.
BACA JUGA: Anak Yatim di Kota Bandung Dapat Kupon ‘Borong Baju Lebaran’ Dari Baznas Jabar
Kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat, Idham Rahmat mengatakan, permasalahan stunting harus menjadi musuh bersama tidak hanya pihak pemerintah saja. Sehingga gerakan dalam mencegah stunting di Jabar ini tidak lagi dibatasi nomenklatur kegiatan atau anggaran.
“Diperlukan kerja keras dan kolaborasi serta cara-cara baru untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku di masyarakat. Kita butuh super team untuk melakukan percepatan penurunan stunting, bukan superman. Stunting harus menjadi common enemy, musuh bersama kita semua. Kalau bicara regulasi, kita berusaha memerangi stunting mulai hulu hingga hilir,” kata Idham.
Deputi Advokasi, Penggerakkan, dan Informasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sukaryo Teguh Santoso mengatakan, pemerintah telah menyiapkan tool dalam penyelesaian stunting secara nasional. Yakni Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting yang ditindaklanjuti dengan Peraturan BKKBN Nomor 12/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting Indonesia (RAN PASTI).
“RAN PASTI ini bisa menjadi pedoman pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam upayanya mempercepat penurunan dan pencegahan stunting. Tapi masuknya BKKBN dalam strategi besar percepatan stunting tidak berarti melupakan tugas pokoknya dalam pengendalian penduduk dan keluarga berencana,” kata Teguh.
Dia menuturkan, terdapat korelasi sangat erat antara stunting dengan program KB atau Bangga Kencana. Mantan Direktur Lini Lapangan BKKBN ini meyakini jika stunting tidak akan pernah bisa diturunkan jika program KB gagal.
Alasannya, persoalan stunting sangat erat dengan program KB. Sebut saja misalnya pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, dan pola pengasuhan anak.
“Pendekatan strategi nasional percepatan penurunan stunting adalah pencegahan. Nah, itulah hakikat pencegahan melalui keluarga. Pendekatan hulu. Mencegah jangan sampai ada kelahiran baru yang tergolong balita stunting,” kata Teguh.
Untuk itu, setidaknya dibutuhkan beberapa upaya dalam pencepatan realisasi target zero stunting. Mulai dari komitmen kepemimpinan, meningkatkan kampanye nasional pencegahan stunting, memenuhi gizi, kemudian konvergensi, termasuk di dalamnya adta dan informasi.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah pendampingan keluarga yang dilakukan oleh tim pendamping keluarga (TPK). Pendampingan keluarga ini merupakan sebuah keniscayaan.
“Ini untuk mengedukasi keluarga, memfasilitasi akses pelayanan, dan memastikan keluarga penerima bantuan benar-benar mendapatkan bantuan. Ini perlu diluruskan, stunting bukan penyakit. Bukan aib. Itu bisa dipulihkan dengan cara pengasuhan yang baik, penanganan yang baik, antara orang tua dan anak,” kata dia.
(Ageng)