TASIKMALAYA,FOKUSJabar.id: Pengusutan dugaan pemotongan hibah Banprov Jabar 2020 terhadap 217 lembaga pendidikan keagamaan belum usai oleh Kejaksaan. Kabupaten Tasikmalaya kini dihadapkan kasus serupa di Kecamatan Sukaraja.
Diduga telah terjadi pengelolaan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) Keagamaan Islam di masa Covid-19 yang tidak profesional. Untuk diketahui, BOP bersumber dari Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI tahun anggaran 2020.
Dugaan pengelolaan BOP yang diindikasi dikuasai oleh seseorang sekaligus pengurus lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (PTQ) salah satu desa di Kecamatan Sukaraja itu, dipertanyakan sekelompok masyarakat, bahkan kasusnya sudah disampaikan ke Polsek Sukaraja.
BACA JUGA: Penghuni Lantai 2 di Kantor Satpol PP Kabupaten Tasikmalaya Dievakuasi
Ketua LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Kecamatan Tanjungjaya Aep Saefulloh mengatakan, pihaknya sudah melakukan penelusuran ke sejumlah lembaga pendidikan agama di Sukaraja.
Dari sejumlah lembaga pendidikan agama penerima bantuan yang berada di bawah naungan DKM di delapan Desa di Sukaraja, rata-rata mereka menyetorkan uang sebesar Rp5,5 juta kepada seseorang.
Alasannya untuk belanja peralatan pelindung diri pencegahan Covid-19, seperti masker, thermogun infrared, hand sanitizer dan peralatan lainnya.
“Mereka mengaku, sesaat pencairan Biaya Opersional Pendidikan di BNI sebesar Rp10 juta, pada akhir tahun 2020, langsung disetor ke seseorang yang menyatakan siap memenuhi kebutuhan alat pelindung diri termasuk buku. Ada juga sebagian penerima bantuan menyetorkan di hari berikutnya,” kata Aep.
Dari pengakuan para penerima BOP disebutkan bahwa kenyataannya mereka tidak pernah mengurus belanja alat-alat pelindung diri, karena sudah diserahkan kepada seseorang tersebut.
“Mengkaji berkas laporan masing-masing lembaga, ternyata seseorang tadi menggunakan tiga perusahaan penyedia barang berbeda yang berdomisili di luar Kabupaten Tasikmalaya, yakni Ciamis, Garut dan Kota Depok,” kata dia.
Dalam kasus yang menimpa hampir 80 lembaga ini, pihaknya tidak mempermasalahkan siapa pihak penyedia. Namun pertanyaan utamanya adalah, bagaimana bisa harga barang untuk satu item yang sama dan jumlah yang sama, bisa bervariatif antara lembaga yang satu dengan lembaga lainnya.
“Menurut kami, ada keanehan ketika harga masker jenis scuba misalnya, bisa bervaritif. Di lembaga yang satu bisa Rp 8 ribu dan untuk lembaga lainnya bisa kurang. Padahal harga jual masker scuba di pasaran paling tinggi Rp 5 ribu. Maka dapat kami simpulkan sementara, rata-rata biaya belanja alat-alat pelindung diri untuk satu MDT atau PTQ, kurang dari Rp 5,5 juta,” tuturnya.
Disebutkan, dengan adanya praktek pembelanjaan Biaya Operasional Pendidikan yang dinilai kurang profesional ini, pihaknya meminta aparat penegak hukum untuk menelusuri dan mengusutnya hingga terang benderang.
“Semua harus dapat dijelaskan kepada publik secara transparan agar dalam kasus ini tidak kemudian menimbulkan fitnah di tataran masyarakat. Kami sebagai sosial kontrol sekaligus masyarakat yang berkewajiban turut serta mengawal pembangunan secara tepat di masyarakat,” kata Aep.
Sementara itu, Kanit Reskrim Polsek Sukaraja, Aiptu Aceng menjelaskan, hingga kini belum ada laporan khusus terkait dugaan kasus penyelewengan Biaya Operasional Pendidikan.
Namun ia mengakui telah mengundang sejumlah pihak lembaga pendidikan keagamaan penerima Biaya Operasional Pendidikan dan dimintai keterangan. Hal tersebut menyusul adanya informasi dari masyarakat terkait penggunaan BOP yang tidak benar.
“Sejauh ini, informasi yang kami terima dari beberapa pihak lembaga tersebut, masih dalam koridor kewajaran sesuai barang yang dibeli dan diterima. Karena ada transaksi atau belanja, tentu ada risiko biaya yang harus dikeluarkan dan ada nilai keuntungan bagi sipenjual barang,” terang Aceng.
(Farhan)