BANDUNG,FOKUSJabar.id: Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 menjadi yang terendah sejak tahun 1999. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2020 minus 5,32 persen.
“Pada kuartal I 1999 ekonomi Indonesia mencapai titik terparah yang terkontraksi minus 6,13 persen. Kondisi saat itu sebagai dampak pusaran krisis moneter yang terjadi sejak 1997,” ujar Kepala BPS Suhariyanto seperti dilansir viva.co.id, Rabu (5/8/2020).
Suhariyanto mencatat, ekonomi Indonesia mengalami penurunan yang sangat tajam dibandingkan kuartal II 2019 yang tumbuh 5,01 persen. Secara kuartalan, ekonomi Indonesia pada periode tersebut mengalami pertumbuhan negatif hingga -4,19 persen dibandingkan kuartal II-2019 yang tumbuh 4,01 persen.
Dengan catatan itu, berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku ekonomi Indonesia Rp3.687,7 trilyun, sedangkan atas dasar harga konstan Rp2.589,6 trilyun.
“Dibandingkan kuartal II 2019, capaian itu turun drastis karena PDB atas dasar harga berlaku ekonomi Indonesia sebesar Rp3.963,9 trilyun. Sedangkan atas dasar harga konstan Rp2.735,3 trilyun,” ujar dia.
BACA JUGA: Idul Adha 1441 H, JNE Bandung Berkurban bagi Pelanggan dan Karyawan
Kondisi ekonomi Indonesia saat ini, lanjut dia, tidak terlepas dari tekanan ekonomi akibat penyebaran pandemi virus corona (Covid-19) yang melanda berbagai negara. Akibatnya kinerja industri dan konsumsi turun drastis.
“Semoga ini menjadi satu-satunya kontraksi,” kata Suhariyanto.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengatakan, jebloknya pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal II 2020 buntut dari terkontraksinya pertumbuhan ekonomi di dua triwulan awal tahun 2020. Pada triwulan pertama pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 2,97 persen, sehingga secara kumulatif sampai semester pertama tahun ini terkontraksi sebesar 2,95 persen.
Konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen terbesar dalam PDB dengan kontribusi 58 persen, lanjut Faisal, juga merosot atau mengalami kontraksi sebesar 5,51 persen. Kondisi ini, hampir sama parahnya dengan krisis 1998 ketika pertumbuhan konsumsi rumah tangga minus 6,17 persen.
“Di era Orde Lama sejak 1960, konsumsi rumah tangga hanya dua kali mengalami kontraksi yaitu tahun 1963 sebesar 3,95 persen dan tahun 1966 sebesar 1,46 persen,” ujar Faisal melansir tempo.co.
Suntikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berupa bantuan sosial bagi penduduk miskin dan rentan serta terdampak pandemi Covid-19, diakui Faisal, sangat diperlukan untuk membantu menahan kemerosotan lebih dalam. Namun kemerosotan PDB ini masih tertolong ekspor neto barang dan jasa (ekspor barang dan jasa dikurangi impor barang dan jasa).
“Ini terjadi karena impor merosot lebih tajam ketimbang penurunan ekspor, masing-masing 16,96 persen dan 11,66 persen,” kata Faisal.
Faisal memprediksi, kontraksi ekonomi bakal berlanjut pada kuartal ketiga meski tidak akan sedalam di kuartal II karena pandemi Covid-19 terlihat sinyalemen berhenti. Jika dalam dua triwulan berturut-turut mengalami kontraksi, Indonesia pun akan memasuki resesi.
BACA JUGA: Rupiah Menguat Tipis Menjadi Rp14.625 per Dolar AS
Faisal mendorong pemerintah tidak memaksakan diri terhindar dari resesi ekonomi dengan mengutamakan agenda pemulihan ekonomi ketimbang pengendalian Covid-19. “Jika dipaksakan, resesi berpotensi lebih panjang sehingga menelan ongkos ekonomi dan sosial makin besar,” ujar Faisal menambahkan.
Akan lebih realistis jika pemerintah berupaya semaksimal mungkin mengendalikan pandemi Covid-19. Dengan demikian, perekonomian bisa tumbuh positif kembali pada triwulan terakhir tahun 2020. “Sehingga tahun 2021 bisa melaju lebih kencang,” ujar dia.
(Ageng/berbagai sumber)