BANDUNG, FOKUSJabar.id: Terbitnya aturan PAN-RB tentang pelayanan terpadu satu pintu (TPSP), Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat bakal melakukan perubahan tatanan yang merujuk kepada peraturan tersebut, termasuk kepada media.
Plt Kemenag Jabar, Handiman Romdony mengatakan, dalam perubahan regulasi tersebut, Kemenag Jabar akan melaksanakan reformasi demokrasi dengan melakukan delapan perubahan yang salah satunya melakukan peningkatan pelayanan.
Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, Kanwil Kemenag Jabar juga mengajak partisipasi masyarakat khususnya pengguna layanan untuk memberikan penilaian terhadap pelayanan yang diberikan.
“Hasil survei ini akan dijadikan dasar pengukur indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik Kanwil Kemenag Jabar sebagai bahan evaluasi dan perbaikan pelayanan. Survei dilaksanakan dari tanggal 18 Juni sampai dengan 2 Juli 2020 secara online dengan cara klik dan isi tautan berikut hhtp://gg gg/SKM-kanwil-jabar-2020,” katanya di Aula Simpadu Kemenag Jabar pada acara Regulasi Kemenag Jabar dengan wartawan Mitra Kerja di Lingkungan Kemenag Jabar.
Dalam kesempatan yang sama beberapa wartawan yang hadir menanyakan terkait pelayanan PTSP bagi media. Pasalnya, hal ini mengingat fungsi wartawan sebagai sosial kontrol yang memerlukan informasi cepat dan akurat.
Kasubag Inmas Kanwil Kemenag Jabar, Ohan Burhan yang didampingi Kasubag Umum Ahmad Sidik menjelaskan bahwa Kemenag Jabar sudah siap untuk memfasilitasi media. Bahkan pihaknya telah menyediakan ruangan khusus bagi wartawan.
BACA JUGA: DPRD Jabar: Hadirnya DPMPTSP Permudah Pelayanan Masyarakat
“Nantinya siapapun wartawan yang memerlukan keterangan akan dilayani secara maksimal, kalau yang diperlukan bisa dijawab oleh Inmas akan langsung dijawab. Tetapi bila jawabannya mengenai teknis orang yang ahli di bidangnya akan langsung dihadirkan untuk menjelaskannya,” ucapnya.
Sementara, Ketua Elemen Masarakat Pemerhati Kementerian Agama dan Masalah Keagamaan (ELPAGA) Dedi S. Asikin menolak kebijakan Kemenag Jawa Barat yang merencanakan pemberian informasi kepada wartawan disatu pintukan bersama masarakat.
Menurut, Dedi S Asikin yang juga seorang wartawan senior, secara hukum wartawan lebih pas diatur oleh UU 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sedangkan PTSP mengacu kepada UU no 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
“Tujuan makna dan arah kedua UU itu nyaris serupa tapi tak sama. UU KIP lebih ditujukan pemberian hak kepada masarakat untuk tahu apa yang terjadi, apa yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang merupakan mandat dari rakyat. UU KIP sejalan dan bersumber dari Pasal 28f UUD 1945,” ujarnya via Whats Aap, Minggu (21/6/2020).
“Sementara UU 25 Tahun 2009 merupakan cara pemerintah dalam melayani pemberian hak publik. Misalnya dalam urus KTP/KK, surat kelahiran, bansos atau hak-hak lain yang diperuntukan bagi masyarakat,” imbuhnya.
Lebih lanjut kata dia, bagi seorang wartawan semua orang adalah narasumber. Prinsip kerja wartawan pun cepat tepat dan akurat.
“Dari mulai tukang baca, pengemudi ojeg sampai menteri bahkan Presiden adalah narasumber. Wartawan tidak berprinsip biar lambat asal selamat, tapi wartawan harus cepat dan selamat.
Oleh kerena itu wartawan tidak nyaman dengan birokrasi yang kadang dipertontonkan oleh penyelenggara negara,” terangnya.
dia pun berpendapat, PTSP menurutnya bisa dirasakan wartawan sebagai langkah menghalangi kebebasan pers yang dijamin oleh UU 40 Tahun 1999.
“Memang Presiden Menteri atau pejabat lain memiliki struktur juru bicara, tapi ini tidak berarti wartawan tidak boleh wawamcara dengan Presiden Menteri atau pejabat lain. Jadi jubir atau humas jangan menjadi satu-satunya narasumber wartawan. Kasihan mereka sempit nanti informasinya,” ungkapnya.
“Jadi tidak ada alasan untuk melarang mereka memberi informasi kepada pers sepanjang menyangkut jabatan yang dipangkunya,” tambahnya.
Kasus ini kata Dedi pernah juga terjadi sebelumnya. Kanwil Kemenag Jawa Barat pernah mengeluarkan Surat Keputusan yang ditanda tangani Kakanwil (Muhaimin Lutfhi) saat itu yang mengharuskan wartawan hanya berhadapan dengan humas untuk wawancara.
“Tidak boleh minta informasi kepada pejabat lain. Tapi keputusan itu tidak berjalan karena kita kesulitan mendapatkan informasi yang diperlukan. Saat bertanya humas belum siap dengan data-data dan malah belum tahu Masalahnya. Sebagai wartawan yang perlu info cepat kami protes kepada Kakanwil,” tuturnya.
Untuk itu ELPAGA meminta Kanwil melunakkan PTSP ini khusus untuk masyarakat luas dan berikan kebebasan kepada pers untuk bekerja mudah dan nyaman sesuai UU 40 1999. “Ingat ada ancaman hukum bagi pelanggaran kebebasan pers,” tandasnya.
(Asep/As)