Oleh: Yan Agus Supianto
SUMATERA, FOKUSJabar.id: Pulau Sumatera kembali berduka. Serangkaian bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut) dan Sumatera Barat (Sumbar) sejak akhir November 2025 telah menewaskan ratusan jiwa dan menyebabkan kerusakan infrastruktur yang masif.
Tragedi tersebut dipicu oleh curah hujan ekstrem dan Siklon Tropis Senyar pada akhir November telah dikategorikan sebagai salah satu bencana alam paling mematikan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
BACA JUGA:
Banjir Terjang Kota Padang, Kerugian Rp202,8 Milyar
Tragedi ini bukan sekadar fenomena alam biasa. Namun cerminan dari kegagalan serius dalam pengelolaan lingkungan dan tata ruang.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data terkini yang menunjukkan peningkatan drastis jumlah korban meninggal dunia akibat bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumut dan Sumbar.
Hingga Selasa (2/12/2025), total korban jiwa yang tercatat mencapai 604 orang tewas dan 464 orang lainnya masih dinyatakan hilang.
Angka ini dikonfirmasi oleh Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Bencana BNPB, Abdul Muhari. Dia menyatakan bahwa pendataan terus diperbarui seiring dengan terbukanya akses di lokasi yang sebelumnya terisolasi.
Bencana ini menyebar di 50 kabupaten/kota di tiga provinsi dengan jumlah korban yang berbeda-beda:
Sumatera Utara menjadi wilayah dengan korban tewas tertinggi. Yakni mencapai 283 jiwa. Sementara 169 orang dilaporkan hilang dan 613 orang mengalami luka-luka. Kerusakan parah terjadi di kawasan Tapanuli Selatan dan Sibolga.
Di Sumatera Barat tercatat 165 jiwa meninggal dunia dan 114 warga masih dalam pencarian.
Wilayah seperti Agam, Tanah Datar dan Pesisir Selatan menjadi titik terparah akibat kombinasi banjir dan kontur perbukitan yang labil.
BACA JUGA:
8 Asrama Ponpes Assanusiyah Garut Ludes Terbakar
Korban meninggal di Aceh mencapai 156 jiwa dan 181 orang dinyatakan hilang.
Lebih dari 1.800 warga di Aceh dilaporkan mengalami luka-luka dan banyak akses desa di Aceh Tamiang masih terputus.
Dampak Masif dan Kerugian Infrastruktur
Secara total, bencana ini telah memengaruhi sedikitnya 2,1 juta hingga 3,3 juta jiwa. Lebih dari 570 ribu warga terpaksa mengungsi ke tempat aman yang tersebar di posko-posko darurat.

Kerusakan infrastruktur tercatat sangat signifikan dan membutuhkan biaya pemulihan yang masif.
Sedikitnya 3.500 unitrumah mengalami rusak berat, 4.100 unit rusak sedang dan 20.500 unit rusak ringan.
282 fasilitas pendidikan dan 271 jembatan mengalami kerusakan. Akibatnya mengganggu mobilitas dan proses belajar mengajar.
Kerugian ekonomi yang diderita diprediksi tembus hingga Rp68,6 trilyun. Alhasil, menjadikan bencana ini sangat menghancurkan dari sisi material.
BNPB menegaskan, operasi pencarian korban hilang dan distribusi bantuan logistik masih menjadi prioritas utama dengan dukungan penuh dari tim SAR gabungan, TNI, Polri dan relawan daerah.
Hujan Ekstrem Hanya Pemicu, Kerusakan Hutan Akar Masalah
Para ahli sepakat bahwa intensitas curah hujan ekstrem yang mencapai 150-300 milimeter (kategori ekstrem) adalah pemicu langsung.
Namun faktor yang memperparah dampak hingga menjadi bencana besar adalah ulah manusia. Yakni, deforestasi masif di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS).
BACA JUGA:
Rumah Retak hingga Sekolah Jebol, Cuaca Ekstrem Guncang Ciamis
“Fungsi hutan sebagai spons alami telah hilang,” ujar Risa Anggraini, seorang pakar Hidrologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Ketika hujan deras turun, tidak ada lagi pohon yang menahan dan meresapkan air. Air hujan langsung menjadi surface run-off (limpasan permukaan) yang cepat, menyeret lumpur dan gelondongan kayu yang kita lihat sebagai banjir bandang dengan daya rusak tinggi,” Dia menambahkan.
Pengamat tata ruang juga menyoroti inkonsistensi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Alih fungsi lahan konservasi menjadi perkebunan, pertambangan dan permukiman di wilayah perbukitan telah meningkatkan kerentanan tanah terhadap longsor.
“Kita membangun di jalur air dan di lereng yang labil. Ketika alam mengambil kembali jalurnya, dampaknya selalu tragis,” kata Syarifudin Ginting dari Walhi Sumatera.
Fokus Evakuasi dan Prioritas Mitigasi
Menanggapi krisis ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menetapkan status tanggap darurat di beberapa kabupaten yang paling parah terdampak.
Kepala BNPB, Letjen (Purn) Suharyanto menegaskan, fokus utama saat ini adalah operasi pencarian dan penyelamatan korban yang masih hilang serta memastikan logistik dan tempat pengungsian aman.
BACA JUGA:
Mitos Karuhun Mataram di Jembatan Cikaleho Ciamis
“Kami telah mengerahkan tim gabungan.Termasuk Basarnas, TNI/Polri untuk membuka akses jalan yang terisolasi dan mengevakuasi warga. Bantuan makanan, kesehatan dan air bersih menjadi prioritas utama di posko-posko pengungsian,” ujar Suharyanto dalam konferensi pers virtual.
Suharyanto mengakui, faktor lingkungan perlu menjadi perhatian jangka panjang.
“Presiden telah menginstruksikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengevaluasi secara ketat izin-izin yang berpotensi menyebabkan kerusakan di hulu. Ini adalah momen untuk merefleksikan kembali Rencana Jangka Panjang terkait mitigasi bencana berbasis ekosistem di Sumatera,” katanya.
Darurat Ekologis dan Tuntutan Restorasi
Tragedi ini menuntut pemerintah daerah hingga pusat untuk segera mengambil tindakan mendasar, tidak hanya respons tanggap darurat.
Dua tuntutan utama yang disuarakan publik dan pakar:
Penegakan Hukum Tegas
Pemerintah didesak untuk mengaudit dan mencabut izin-izin usaha (HGU) yang beroperasi di kawasan hulu DAS dan terbukti merusak lingkungan.
Penegakan hukum terhadap pelaku penebangan liar harus diperketat.
Restorasi Skala Besar
Diperlukan program reforestasi dan rehabilitasi lahan kritis secara masif. Prioritas utama adalah mengembalikan fungsi kawasan tangkapan air yang telah rusak untuk mengurangi kecepatan air yang mengalir ke hilir.
Bencana di Sumatera ini adalah ‘alarm merah’ bagi seluruh Indonesia. Selama kerusakan ekologis terus berlangsung tanpa kontrol, cuaca ekstrem akan selalu berujung pada bencana kemanusiaan yang berulang.
Tragedi yang menimpa Sumatera dengan angka korban tewas mencapai 604 jiwa bukanlah akhir dari serangkaian bencana. Melainkan sebuah puncak dari akumulasi kesalahan pengelolaan lingkungan selama bertahun-tahun.
Data BNPB yang mengerikan ini menjadi penanda bahwa Indonesia telah memasuki fase di mana cuaca ekstrem (fenomena alam) bertemu dengan kerusakan ekosistem (dampak ulah manusia) dan menciptakan malapetaka.
Sumatera hari ini adalah cerminan dari kegagalan kolektif dalam menjaga hulu sungai. Sebuah kegagalan yang dibayar mahal dengan nyawa, rumah dan masa depan.
BACA JUGA:
Kampung Adat Cireundeu Warisan Kabuyutan Ciamis
Pemerintah pusat dan daerah tidak punya pilihan selain menjadikan bencana ini titik balik. Restorasi hutan dan penegakan hukum tata ruang yang ketat harus menjadi agenda prioritas nasional.
Selama deforestasi dan alih fungsi lahan terus diizinkan di wilayah tangkapan air, selama itu pula ratusan nyawa akan terus menjadi taruhan setiap kali hujan deras turun.
Bencana Sumatera harus menjadi seruan keras bagi seluruh bangsa. Mitigasi bencana sejati dimulai dari pemulihan martabat dan fungsi ekosistem.
(Penulis adalah wartawan FOKUSJabar)


