TASIKMALAYA, FOKUSJabar.id: Jawa Barat selangkah lebih maju dalam pembaruan hukum pidana.
Provinsi ini resmi menjadi pionir penerapan pidana kerja sosial, bentuk hukuman baru yang menekankan pembinaan dan kontribusi sosial, bukan sekadar pemenjaraan.
Langkah bersejarah itu ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Gubernur Jawa Barat, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar, dan para kepala daerah, termasuk Bupati Tasikmalaya H. Cecep Nurul Yakin, di Gedung Swatantra Wibawa Mukti, Komplek Pemkab Bekasi, Selasa (4/11/2025).
“Ya Pa Kajari Kabupaten Tasikmalaya juga hadir dan menandatangani nota kesepahaman bersama Bupati Tasikmalaya Cecep Nurul Yakin,” kata Kasi Intelijen Kejari Kabupaten Tasikmalaya, Bobbi Muhamad Ali kepada FOKUSJabar.id, Rabu (5/11/2025).
BACA JUGA: Dari Mimpi ke Aksi, Bupati Cecep Nurul Yakin Hidupkan Lagi Rencana Reaktivasi Stasiun Rajapolah
MoU tersebut terang Bobbi, menjadi tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru, yang akan berlaku mulai awal tahun 2026.
Regulasi itu juga menandai berakhirnya era KUHP peninggalan kolonial dan membuka jalan menuju sistem hukum yang lebih modern, adil, dan berdaulat.
“Penandatanganan kemarin itu menjadi tindak lanjut dari amanat Pasal 65 huruf e KUHP Tahun 2023 yang mengatur tentang pelaksanaan pidana kerja sosial sebagai salah satu bentuk hukuman alternatif,” terang Bobbi.
Ia menambahkan, kegiatan dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi Kejaksaan Agung, di antaranya Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, Dr. Rudi Margono, dan Mayjen TNI Mokhamad Ali Ridho. Hadir pula pejabat eselon I dan II Kejagung, kepala daerah se-Jawa Barat, hingga perwakilan lembaga keuangan dan pengawasan.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Asep Mulyana menegaskan, pidana kerja sosial merupakan alternatif sanksi bagi pelanggaran ringan. Pelaku tidak lagi harus mendekam di balik jeruji, melainkan bisa menebus kesalahan lewat kegiatan sosial yang bermanfaat.
“Tujuannya bukan menghukum untuk membalas, tapi membina. Pelaku tetap punya kesempatan memberi kontribusi positif bagi masyarakat,” kata Asep.
Ia mencontohkan, pelaku dengan keahlian otomotif dapat dijatuhi kewajiban merawat ambulans desa atau kendaraan sosial lainnya. Namun, ia menegaskan, korupsi dan kejahatan berat tetap tidak termasuk kategori hukuman sosial.
Asep menekankan pentingnya sistem dan pengawasan ketat dalam penerapannya.
“Di Toronto sudah ada modelnya. Ada pedoman, lembaga pelaksana profesional, dan sistem kontrol yang rapi,” ujarnya.
Kepala Kejati Jawa Barat, Dr. Hermon Dekristo menambahkan, keberhasilan penerapan pidana sosial membutuhkan dukungan nyata dari pemerintah daerah. Dalam kerja sama ini, Kejaksaan bertugas mengeksekusi putusan pengadilan, sementara pemda menyediakan ruang sosial dan fasilitas pembinaan bagi terpidana.
“Penegakan hukum tidak bisa hanya soal pembalasan. Sinergi dengan pemda ini adalah langkah menuju keadilan yang memulihkan, bukan menghukum,” tegas Hermon.
Ia berharap Jawa Barat bisa menjadi percontohan nasional dalam penerapan pidana kerja sosial.
“Kesepakatan ini fondasi penting menuju sistem hukum yang lebih humanis dan bermartabat,” ujarnya.
BACA JUGA: Polres Ciamis Nikahkan Pembuang Bayi di Panawangan
Dukungan lintas lembaga ini menegaskan komitmen bersama mewujudkan paradigma baru penegakan hukum yang lebih bijak, efektif, dan berpihak pada kemanusiaan.
Dengan langkah ini, Jawa Barat bukan sekadar memulai babak baru dalam sistem hukum nasional, tapi juga menginspirasi daerah lain untuk menjadikan keadilan lebih manusiawi.
(Farhan)


