TASIKMALAYA,FOKUSJabar.id: Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Kejaksaan Agung Republik Indonesia, menyetujui penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice (RJ) terhadap tersangka kasus penyalahgunaan narkotika berinisial EE, yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Tasikmalaya. Langkah ini dinilai sebagai bentuk nyata pendekatan hukum yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan sosial.
Persetujuan tersebut diberikan setelah Kejari Kabupaten Tasikmalaya melalui jaksa fasilitator Mario Nicolas, SH, MH dan M. Fakhruzzaman, SH, melakukan ekspose perkara di hadapan JAM Pidum yang diwakili Direktur B beserta Kasubdit dan staf, pada Senin (20/10/2025) di Jakarta.
Sebelumnya, ekspose tahap pertama dilakukan di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat pada tanggal 13 Agustus 2025, yang hasilnya merekomendasikan agar perkara tersebut diajukan ke tingkat pusat untuk mendapatkan persetujuan akhir.
BACA JUGA:
Tinggalkan Kejari Kabupaten Tasikmalaya, Agus Khausal Alam Dapat Jabatan Penting di JAM Pidsus
Tersangka EE diketahui melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri. Ia dijerat dengan Pasal 112 ayat (1) dan/atau Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Namun, dari hasil pemeriksaan, jaksa menemukan bahwa EE tidak terlibat dalam jaringan peredaran gelap narkotika, melainkan hanya pengguna aktif.
Kepala Kejari Kabupaten Tasikmalaya, Agus Khausal Alam, SH, MH, mengatakan, langkah ini sejalan dengan kebijakan Kejaksaan Agung yang menekankan pendekatan keadilan restoratif bagi pengguna narkotika.
“Permohonan penghentian penuntutan terhadap tersangka EE telah disetujui JAM Pidum. Selanjutnya, tersangka akan ditempatkan di lembaga rehabilitasi di Provinsi Jawa Barat untuk menjalani program pemulihan sesuai prinsip keadilan restoratif,” ujar Alam, Selasa (21/10/2025).
Ia menjelaskan, pendekatan ini bukan berarti pelaku bebas dari tanggung jawab hukum, tetapi diarahkan untuk pemulihan dan reintegrasi sosial, bukan sekadar penghukuman.
“Keadilan restoratif bukan berarti memaafkan pelaku tanpa konsekuensi, tetapi mengembalikan keseimbangan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Ini adalah keadilan yang membina, bukan semata menghukum,” tutur Alam.
Kasi Intelijen Kejari Kabupaten Tasikmalaya, Bobbi Muhammad Ali Akbar, SH, MH, menambahkan, tersangka EE dinilai memenuhi seluruh kriteria penerapan restorative justice sebagaimana diatur dalam Huruf B Angka 4 Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“Tersangka menunjukkan itikad baik, menyesali perbuatannya, bersikap kooperatif, dan berkomitmen menjalani rehabilitasi. Selain itu, tindakannya tidak menimbulkan korban dan tidak termasuk dalam kategori kejahatan berulang,” jelas Bobbi.
Menurut Bobbi, penghentian penuntutan ini dilakukan setelah penelitian mendalam oleh jaksa fasilitator dan hasil asesmen medis dari lembaga terkait.
Langkah Kejari Tasikmalaya ini sejalan dengan kebijakan nasional yang menempatkan pengguna narkotika sebagai korban penyalahgunaan yang perlu direhabilitasi.
Seperti diketahui, sejak program Restorative Justice diluncurkan pada 2021 oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin, tercatat lebih dari 230 perkara di Jawa Barat telah diselesaikan melalui pendekatan RJ, termasuk kasus penyalahgunaan narkotika dengan kategori pengguna.
BACA JUGA: Temui Tersangka di Balik Jeruji, Kejari Kabupaten Tasikmalaya Dalami Kasus Korupsi Pupuk Bersubsidi
Kebijakan tersebut juga sejalan dengan semangat Undang-Undang Narkotika yang menegaskan pentingnya pemulihan dan pencegahan ketimbang pemidanaan semata, terutama bagi pengguna yang tidak terlibat jaringan peredaran gelap.
Selain menegakkan hukum, Kejari Kabupaten Tasikmalaya juga aktif menggelar sosialisasi bahaya narkoba dan edukasi hukum di berbagai wilayah. Program ini menjadi bagian dari strategi pencegahan dan pembinaan masyarakat agar tidak terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika.
(Farhan)