BANDUNG,FOKUSJabar.id: Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menyoroti fenomena pejabat publik yang dinilai terlalu sensitif atau “baper” ketika menerima kritik maupun sindiran dari masyarakat.
Menurutnya, sikap tersebut mencerminkan adanya persoalan serius dalam tata kelola politik di Indonesia.
Baca Juga: Wamen LH Tinjau Dapur MBG di Bandung, Dorong Pengelolaan Sampah Berkelanjutan
“Kita terjebak dalam tradisi feodalistik, di mana keinginan untuk dipuji jauh lebih besar daripada menerima kritik. Padahal, sebagai pejabat publik, kapasitas utama yang harus dimiliki adalah mendengarkan dan menerima aspirasi,” ujar Dedi, Selasa (23/9/2025).
Dedi menilai, reaksi berlebihan para pejabat bukan sekadar masalah personal, melainkan konsekuensi dari sistem yang timpang. Hak keuangan tinggi dan fasilitas berlebihan yang diberikan negara disebut ikut membentuk mental pejabat merasa berada di atas rata-rata masyarakat.
“Solusinya, kurangi hak keuangan, hilangkan fasilitas berlebihan. Dengan begitu, mereka benar-benar bekerja dan kembali sederhana. Kalau hak disesuaikan dengan standar hidup rakyat, mereka tidak akan sensitif lagi saat dikritik,” tegasnya.
Ia juga menyoroti fenomena pejabat yang tetap merasa kurang meski sudah menerima tunjangan tinggi. Hal ini, kata Dedi, menegaskan adanya mentalitas feodal yang jauh dari nilai pelayanan publik.
“Tunjangan pejabat Indonesia kalau dibandingkan dengan rata-rata penghasilan rakyat terlalu tinggi. Lihat negara-negara Eropa, perdana menteri saja terbiasa antre dan menggunakan fasilitas publik. Bukan semata karena mental mereka lebih baik, tetapi karena sistem yang menempatkan mereka setara dengan rakyat,” jelasnya.
Terkait maraknya pejabat dari kalangan artis, Dedi menilai tidak ada persoalan dikotomis. Siapa pun, baik dari latar akademisi, aktivis, maupun selebritas, pada akhirnya akan terkondisikan mengikuti sistem politik yang sarat nuansa feodal.
“Tidak ada dikotomi soal itu. Selama sistemnya tetap feodal, siapa pun yang masuk akan terbawa mengikuti iklim yang ada,” pungkasnya.
(Yusuf Mugni)