FOKUSJabar.id: Bumi pertiwi seakan terus berlinang air mata. Rapuh dan berulang kali terjatuh ketika berhadapan dengan fenomena korupsi yang seolah tidak pernah menemukan ujung penyelesaiannya. Mengapa demikian, Karena kasus korupsi di negeri ini kerap menemui jalan buntu, bahkan sering muncul kembali dengan pola berbeda namun substansi yang sama yakni penyalahgunaan kewenangan.
Salah satu kasus yang mencuat belakangan ini adalah dugaan korupsi minyak mentah Pertamina. Tim Jaksa Penyidik dari Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) Kejaksaan Agung telah memeriksa delapan saksi penting pada Senin, 25 Agustus 2025. Dalam pemeriksaan tersebut hadir sejumlah nama besar, termasuk pejabat tinggi di sektor energi nasional. Di antaranya DS, Kepala SKK Migas yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi di Kementerian ESDM, serta ES, mantan Dirjen Migas pada tahun 2017.
Fenomena yang sering terjadi adalah kemunculan isu-isu besar yang berpotensi menjerat para elit, namun kemudian menghilang begitu saja tanpa tindak lanjut jelas. Tidak jarang, isu korupsi ditenggelamkan dengan pengalihan perhatian publik melalui isu politik lain.
Misalnya, kasus dugaan korupsi Pertamina perlahan tenggelam bersamaan dengan mencuatnya isu-isu lain seperti polemik politik nasional. Pola ini menimbulkan kesan bahwa pengelolaan isu di Indonesia sering digunakan sebagai strategi untuk menutupi masalah yang lebih substansial.
RUU Tipikor dan Batas Nilai Korupsi
Hal lain yang menimbulkan perdebatan adalah rancangan undang-undang tentang Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor). Salah satu pasalnya menetapkan bahwa tindakan korupsi yang dapat diusut memiliki batas minimal kerugian negara sebesar Rp25 juta. Menurut Andi Hamzah, salah satu perumus RUU Tipikor, kebijakan ini dimaksudkan agar aparat penegak hukum fokus pada kasus-kasus besar, menguitip dari Arsipberita.com, 3 April 2011
Namun, logika tersebut menuai kritik. Jika korupsi di bawah Rp25 juta dianggap terlalu kecil untuk ditangani, bukankah ini justru memberi celah bagi praktik “korupsi kecil-kecilan” yang dilakukan secara massif, Padahal, Transparency International (2024) menegaskan bahwa praktik korupsi, baik kecil maupun besar, sama-sama merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Keadilan Sosial yang Dipertanyakan
Penelesaan kasus korupsi di Indonesia pada akhirnya menjadi sangat mahal, bukan hanya dari segi kerugian negara, tetapi juga dalam proses pengusutannya. Biaya penegakan hukum yang tinggi sering dijadikan alasan keterbatasan penanganan kasus. Lebih ironis lagi, ketika seseorang sudah berstatus tersangka, proses hukum tidak jarang berjalan lambat, sementara fasilitas dan privilese tetap dinikmati oleh yang bersangkutan.
Jika hukum masih bisa “ditawar” dengan jabatan dan kekuasaan, maka rakyat kecil akan semakin merasa terpinggirkan. Korupsi adalah penyakit bangsa yang tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak sendi-sendi moral, politik, dan keadilan. Bumi pertiwi membutuhkan keberanian para penegak hukum, integritas para pemimpin, dan kesadaran seluruh masyarakat untuk tidak lagi mentolerir praktik ini, sekecil apa pun nilainya.
(Gina Sofia Rahman, Pemerhati Sosial Politik, dan Dosen FISIP Universitas Nurtanio Bandung)