PANGANDARAN,FOKUSJabar.id: Kabupaten Pangandaran memiliki sejarah panjang sebagai titik pertemuan budaya. Meski secara administratif masuk wilayah Jawa Barat yang identik dengan kultur Sunda, jejak kebudayaan Jawa tetap melekat kuat dalam kehidupan masyarakat setempat.
Kepala Desa Wonoharjo, Dede Suprapto, menyebutkan keberagaman ini sudah berlangsung sejak lama, seiring masuknya masyarakat dari Tasikmalaya (Jawa Barat) dan Kebumen (Jawa Tengah).
Baca Juga: Polres Pangandaran Angkat Bicara Soal 2 Tahanan Aktif di WA
“Wajar jika di sini banyak orang Tasik, ada juga orang Jawa dari Kebumen maupun daerah sekitarnya,” ujar Dede, Rabu (17/9/2025).
Ia menuturkan, meski mayoritas warga menggunakan bahasa Sunda, pengaruh Jawa tetap kental, terutama dalam tradisi. Berbagai adat istiadat seperti larung sesaji, ruwatan desa, hingga ritual jampi-jampi masih dijalankan sebagian masyarakat, yang asal-usulnya lebih dekat dengan budaya Jawa.
“Wayang, misalnya, bukan budaya Islam, tapi dulu dipakai sebagai sarana dakwah agar masyarakat lebih mudah menerima ajaran agama,” jelasnya.
Tradisi hajat laut atau upacara adat nelayan juga menjadi bentuk akulturasi budaya. Jika dulu dipimpin sesepuh desa, kini banyak dijalankan oleh tokoh agama atau kiai. Meski ada perubahan, esensinya tetap sama: doa dan rasa syukur agar hasil laut melimpah.
“Kalau dulu ada pemotongan kepala sapi, sekarang tidak selalu dilakukan. Intinya doa tetap menjadi inti, bisa dengan bahasa Jawa, Sunda, atau sehari-hari,” tambah Dede.
Ia mengungkapkan, sebagian tradisi sempat meredup, namun kini mulai dihidupkan kembali. Desa Wonoharjo, misalnya, rutin menggelar kegiatan tahunan seperti ruwatan desa, pagelaran wayang kulit, hingga pengajian akbar.
“Beberapa generasi sebelumnya sempat tidak melaksanakan ritual desa. Sekarang kita coba hidupkan lagi, disesuaikan dengan konteks zaman,” katanya.
Menurut Dede, pelestarian tradisi bukan hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga mempererat kebersamaan masyarakat. Budaya dan agama berjalan beriringan, membentuk identitas Pangandaran yang kaya warna.
“Doa itu pada intinya sama, meski cara dan bahasa berbeda. Yang terpenting adalah niat tulus memohon kepada Tuhan,” pungkasnya.
(Sajidin)