BANDUNG,FOKUSJabar.id: Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas), E. Aminudin Aziz menyebutkan, rata-rata masyarakat Indonesia hanya meluangkan waktu sekitar 129 jam per tahun atau setara lima setengah hari dalam 365 hari. Sedangkan jumlah buku yang dibaca per tahun rata-rata hanya 5,91 buku, atau sekitar setengah buku per bulan.
“Karena itu pentingnya koordinasi, kerja sama, dan sinergitas seluruh pihak dalam menjalankan program-program penguatan literasi di masyarakat,” kata Kepala Perpusnas saat melakukan kunjungan kerja ke Garut, Kota Tasikmalaya, dan Ciamis, pada Rabu-Jumat (10-12/9/2025).
Kepala Perpusnas pun mendorong masyarakat bersepakat untuk membuat forum komunitas perpustakaan. Forum tersebut dapat menjadi wadah untuk saling belajar, bertanya, berbagi pengalaman dan juga berbagi sumber daya.
“Penguatan perpustakaan-perpustakaan yang ada di desa menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi sebagian besar masyarakat Indonesia masih tinggal di wilayah perdesaan,” dia menambahkan.
Aminudin berharap, keterbukaan akses buku mampu memberikan peluang kepada semua orang terutama anak-anak untuk membaca buku, berkegiatan, serta berpartisipasi dalam aktivitas yang memberdayakan masyarakat setempat.
“Walaupun gedung perpustakaannya tidak terlalu besar, tetapi penuh penuh aktivitas, inisiatif, dan kreativitas menggerakan masyarakat, bagi kami itu jauh lebih baik,” kata dia.
Lebih lanjut, Aminudin menjelaskan jika sistem akreditasi perpustakaan akan berubah ke depannya. Sebelumnya, 70 persen bobot penilaian terdapat pada compliance yaitu kepatuhan terhadap sarana prasarana dan 30 persen pada kinerja.
“Kini dibalik yaitu 70 persen untuk aktivitas, 30 persen untuk compliance,” Aminudin menegaskan.
Dalam salah satu lokasi kunjungan di Garut, Kepala Perpusnas mengevaluasi pemanfaatan bantuan buku yang telah disalurkan khususnya ke perpustakaan desa, Taman Baca Masyarakat (TBM) dan perpustakaan rumah ibadah. Menurutnya, evaluasi diperlukan setelah dirinya mengetahui kondisi di beberapa daerah masih terdapat desa atau TBM yang enggan membuka paket bantuan buku dengan alasan takut rusak atau takut dikenakan biaya penggantian.
“Buku itu wajib rusak karena dipakai, dibaca, dan dipinjam masyarakat. Jadi, jangan takut rusak. Kalau buku hanya disimpan rapi tanpa disentuh, manfaatnya tidak ada. Yang tidak boleh terjadi itu, buku-buku yang dikirimkan Perpusnas diperjualbelikan. Kalau sudah ada tanda terima buku ini adalah buku bantuan jadi tidak ada biaya yang akan ditagih,” Kepala Perpusnas menjelaskan.
Kepala Perpusnas memaparkan, pendaftaran untuk bantuan buku tidak dilakukan langsung ke Perpusnas. Melainkan melalui Dinas Perpustakaan dan Kearsipan kabupaten/kota dan dengan syarat dan ketentuan tertentu.
“Tidak semua desa bisa langsung diajukan sebagai calon penerima bantuan buku. Hanya desa yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengelola perpustakaan. Demikian juga untuk TBM, hanya TBM yang terbukti aktif menyelenggarakan kegiatan literasi yang berhak diusulkan. Jadi, yang diajukan adalah yang memang sudah ada kegiatannya, ada yang mengurusnya dan ada tempatnya,” kata Aminudin.

Walikota Tasikmalaya, Viman Alfarizi Ramadhan menyampaikan, penerima bantuan buku bermutu berada di Kampung Literasi dan Sadar Tertib Arsip (KALISTA) yang berlokasi di Cibeureum, Tasikmalaya. Lokasi tersebut akan terus dijadikan sebagai model pengembangan literasi.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten (Dispusip) Garut, Totong melaporkan jika Kabupaten Garut telah menerima bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik dari Perpusnas. DAK tersebut dimanfaatkan untuk penguatan perpustakaan dan di tahun 2026 mendatang berupa bantuan buku bermutu di rumah ibadah dan lapas.
Sementara Plt. Camat Kecamatan Kadungora, Widy Astuti Handayani mengucapkan terima kasih atas dukungan yang telah diberikan Perpusnas. Selain itu, monitoring dan evaluasi berguna untuk mengetahui manfaat buku yang telah diberikan sehingga dapat benar-benar dirasakan oleh masyarakat.
Kepala Perpusnas menandaskan, perpustakaan desa yang dibangun melalui bantuan Perpusnas dapat diakses oleh semua kalangan, termasuk siswa sekolah dan madrasah. “Kita hidup dalam komunitas pembelajar, learning community. Kalau di satu desa perpustakaannya bagus, sementara di desa lain belum, maka mari kita saling berbagi. Dengan cara, saya sangat yakin pergerakan yang disebut dengan gerakan literasi bersama, gerakan literasi masyarakat akan tumbuh dan berkembang dari masyarakat,” dia menuturkan.
Pemanfaatan pemberian bantuan buku didukung oleh para penggerak literasi yang selama ini telah bekerja tanpa pamrih. “Penggerak literasi itu tidak ada yang membayar, semua gratisan. Tetapi karena ada yang ada di dalam hatinya, yaitu semangat pengabdian ingin memberikan sesuatu, barangkali itu menjadi wasilah kebaikan untuk kehidupan akhirat,” kata Kepala Perpusnas mengapresiasi.
Perpusnas, lanjutnya, memberikan rekognisi sekaligus ruang koordinasi agar gerakan literasi lebih terarah dan berkelanjutan terhadap mereka yang bergerak dalam literasi dalam satu program yang disebut dengan Relawan Literasi Masyarakat (Relima).
Salah seorang relawan Relima di Kabupaten Ciamis, Wida Waridah menyampaikan praktik baik yang telah dilakukan selama program ini berlangsung. “Di Lapas Ciamis, buku menjadi fasilitas favorit warga binaan. Koleksi buku yang tersedia bahkan sudah habis dibaca sehingga pihak lapas meminta tambahan buku,” kata Wida.

Ia menceritakan, pada akhir Agustus TBM Rumah Koclak menggelar kegiatan Hajatan Sastra. Buku bantuan Perpusnas sebanyak 1.000 eksemplar turut dipajang dan dimanfaatkan siswa MI, MTS, hingga SMA.
Relawan Relima di kabupaten Ciamis lainnya, Rossy Nurhayati menyampaikan jika dengan menjadi relawan dirinya memiliki akses yang semakin mudah kepada pihak yang berwenang. Bahkan saat berkunjung ke TBM penerima bantuan terutama yang masih baru, Rossy turut mengenalkan program EcoVillage yakni sebuah program buatannya sendiri.
“Alhamdulillah, di beberapa kecamatan dan desa, akses keluar-masuk berjalan dengan sangat baik. Penerimaan dari masyarakat, khususnya para kepala desa, sangat terbuka dengan selalu memberikan ruang untuk bertemu,: kata Rossy.
Di setiap titik yang dikunjunginya, Kepala Perpusnas menekankan jika perpustakaan desa, sekolah, madrasah, perguruan tinggi, dan Taman Baca Masyarakat (TBM) tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, melainkan harus bergerak bersama. Disitulah pentingnya sinergi lintas sektor dalam membangun budaya baca di masyarakat.
“Selama ini banyak program yang berjalan sendiri-sendiri seperti khusus sekolah, TBM, atau jenjang tertentu. Melalui kegiatan ini, kita beharap semua pihak dipertemukan untuk membangun kebersamaan,” Aminudin menegaskan.
(ageng)