BANDUNG,FOKUSjabar.id: Di tengah pesona Bandung sebagai kota kreatif dan kota pendidikan, tersembunyi potensi ancaman geologis serius yang kerap luput dari perhatian publik yakni Sesar Lembang. Menyikapi hal itu, Agung Aswamedha, yang akrab disapa Atep Direktur R&D Sangkuriang Internasional sekaligus alumni Fisika ITB 2002 menginisiasi forum diskusi publik bertajuk “Sesar Lembang Circle”.
Digelar di Cafe Persib, Jalan Sulanjana, Kota Bandung, Senin malam (14/7/2025), kegiatan ini menjadi ruang interaktif edukasi dan dialog terbuka seputar Sesar Lembang patahan aktif sepanjang ±29 km yang berpotensi memicu gempa hingga 7 skala Richter, serta berdampak besar pada infrastruktur dan kehidupan masyarakat di wilayah Cekungan Bandung.
Baca Juga: Pemkot Bandung Bakal Bentuk Sentra Kuliner di 30 Kecamatan
Menggunakan format talkshow interaktif dan live podcast, diskusi ini melibatkan lintas elemen pentahelix: akademisi, pelaku usaha, pemerintah, masyarakat, dan media. Tujuannya tidak sekadar menyampaikan data teknis, melainkan membangun kesadaran publik yang holistik—menyentuh aspek sosial, budaya, hingga tata ruang kota.
Sejumlah pembicara turut hadir:
- Agung Aswamedha (Atep), Calon Ketua Ikatan Alumni ITB Nomor Urut 01
- Seterhen Akbar (Saska), EL ’03, Co-founder Labtek Indie
- Adi Panuntun, DKV ’99, penggiat narasi visual dan ruang kreatif
- Zahra Khairunnisa, PL ’16, Peneliti Kota dan Wilayah
Diskusi tidak berhenti pada narasi bencana dan dampak buruknya. Dalam salah satu sesi, pembicara menyoroti pentingnya pendekatan berbasis komunitas—mengambil inspirasi dari kearifan lokal seperti budaya Smong di Aceh yang telah terbukti efektif membentuk budaya sadar bencana.
“Mitigasi bencana bukan soal sirene dan simulasi semata. Ini soal membangun kultur sadar risiko sejak dini. Kalau Bandung bisa jadi kota musik, kenapa tidak bisa jadi kota sadar bencana?” kata Seterhen Akbar.
Kekuatan Narasi, Edukasi Harus Menginspirasi
Adi Panuntun menambahkan, kekuatan narasi populer dapat menjadi alat edukasi yang ampuh. “Bayangkan jika narasi kebencanaan hadir dalam seni jalanan, musik, atau budaya pop. Edukasi tidak harus menakutkan, tapi justru harus menginspirasi,” ujarnya.
Sementara itu, Zahra Khairunnisa menekankan pentingnya integrasi antara data ilmiah dan kebijakan publik. “Tantangannya bukan hanya pada patahan geologi, tetapi juga pada jurang antara sains dan pengambilan keputusan. Urban planning harus berani mengantisipasi skenario terburuk,” jelasnya.
Sebagai penggagas, Atep menegaskan perlunya membangun ekosistem kesiapsiagaan yang kolaboratif dan partisipatif. “Ancaman ini nyata dan bisa terjadi kapan saja. Tapi alih-alih menakuti, kita harus menciptakan sistem edukatif yang menyatukan semua pihak,” ungkapnya.
Dengan dukungan alumni lintas angkatan ITB, komunitas kreatif, dan para peneliti muda, forum ini diharapkan menjadi pemantik inisiatif lebih luas mulai dari edukasi kebencanaan berbasis komunitas, pelibatan warga dalam simulasi, hingga advokasi kebijakan tata ruang berbasis risiko.
(Arif)