PANGANDARAN,FOKUSJabar.id: Pemasangan Keramba Jaring Apung (KJA) di kawasan Pantai Timur Pangandaran menuai gelombang penolakan. Sejumlah pihak, mulai dari anggota legislatif hingga pegiat lingkungan, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan yang dinilai minim koordinasi dan berpotensi mengganggu keseimbangan sosial, ekonomi, dan ekologi setempat.
Salah satu penolakan disuarakan oleh anggota DPRD Kabupaten Pangandaran dari Fraksi PDI Perjuangan, Iwan M. Ridwan. Ia secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keberadaan KJA yang dianggap kontroversial dan menyulut keresahan di tengah masyarakat.
“Tentu saya sangat tidak setuju. Penolakan masyarakat pun sejalan dengan apa yang saya pikirkan,” ujar Iwan, Senin (14/7/2025).
Baca Juga: 7 Pelanggaran Ini Akan Ditindak Saat Operasi Patuh Lodaya 2025 di Pangandaran
Menurutnya, akar persoalan bermula dari kebijakan perizinan yang langsung diterbitkan pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah daerah secara optimal. Hal ini, kata Iwan, menimbulkan banyak persoalan, terutama karena minimnya sosialisasi kepada masyarakat terdampak seperti nelayan dan pelaku usaha pariwisata.
Ia juga menyoroti potensi dampak negatif terhadap sektor pariwisata, khususnya pelaku usaha wisata air (watersport), yang merasa keberadaan KJA bisa mengganggu aktivitas usaha mereka.
“Ini menyangkut mata pencaharian warga. Jangan sampai pembangunan justru mematikan sektor yang sudah lebih dulu menopang ekonomi lokal,” tambahnya.
Verifikasi Kondisi Lapangan
Lebih lanjut, Iwan mengkritik pendekatan pemerintah pusat yang mengedepankan efisiensi perizinan, namun mengabaikan verifikasi kondisi lapangan. Ia mendesak agar proses perizinan dievaluasi ulang dan melibatkan pemerintah daerah secara lebih aktif dalam pengambilan keputusan.
Sikap serupa juga disampaikan Hadiat Kelsaba, pegiat lingkungan sekaligus petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pangandaran. Ia menilai proses pembangunan KJA dilakukan tanpa komunikasi yang memadai, baik dengan masyarakat sekitar maupun lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan kawasan konservasi.
“Minim komunikasi. Padahal lokasi KJA berdekatan dengan wilayah konservasi. Ini seharusnya menjadi perhatian,” tegas Hadiat.
Gelombang kritik ini mencerminkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap keberadaan KJA di perairan Pantai Timur Pangandaran. Koordinasi lintas lembaga, pelibatan masyarakat lokal, serta kehati-hatian dalam mengambil kebijakan pembangunan di wilayah pesisir menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan antara pelestarian lingkungan, keberlanjutan ekonomi, dan tata kelola kawasan yang berkeadilan.
(Sajidin)