BANDUNG,FOKUSJabar.id: Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menyampaikan kritik keras terhadap kinerja Satgas Penataan Kawasan Hutan (PKH) yang dinilainya bersikap tegas kepada masyarakat kecil, namun cenderung lunak terhadap pelanggaran oleh korporasi besar.
Ia mencontohkan pada penertiban kebun sawit milik 47 keluarga di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau pada 15 Mei 2025.
“Namun uniknya, ada kebun sawit PT. Hutan Kencana sekitar 12.000 ha di hutan produksi yang izinnya sedang dipersoalkan di Pekanbaru. Kebun itu hanya berjarak sekitar 4KM dari yang dirubuhkan tersebut, tetapi itu justru tidak disentuh. Bagaimana Satgas menjawab hal ini?,”kata Iskandar dalam keterangan tertulis yang diterima Jumat (11/7/2025).
Tak hanya itu, kritik juga disampaikan terhadap proyek strategis nasional Rempang Eco City, yang dibangun di atas bekas Taman Buru. Ia menyoroti keputusan Kementerian LHK yang mengubah status kawasan konservasi menjadi hutan produksi terbatas lewat SK Menteri LHK No 299/2024 tanpa kompensasi memadai bagi masyarakat adat yang terusir dari wilayahnya.
“Status hutan dengan sesuka dan secepat-cepatnya dirubah KLHK, walau masyarakat adat terusir tanpa ganti rugi. Sementara Satgas PKH yang ditugasi menertibkan hutan justru diam saja mencermati semua hal tersebut. Bagaimana rasionalitas kita untuk memahami hal itu?,”ucapnya.
Baca Juga: Banyaknya Kasus di Tubuh Kepolisian, IAW: Reformasi Polri Gagal
Menurutnya, pola penindakan itu terkesan standar ganda satgas, di mana lahan sawit milik rakyat yang dirubuhkan, tetapi lahan sawit yang lebih luas dan dimiliki oleh perusahaan justru tetap dibiarkan berdiri di dalam kawasan hutan.
“Sehingga tidak menjadi salah jikalau publik mengkategori kinerja Satgas PKH berstandar ganda. Ada yang sawitnya dicabuti, namun teramat banyak sawit yang malah dirawat di atas hutan oleh Satgas yang dititipkan ke BUMN,”ungkapnya.
Lebih lanjut Iskandar mengatakan, adanya praktik penyerahan lahan dari BUMN ke pihak ketiga tanpa dasar hukum yang kuat, yang semakin memperkuat kesan bahwa penataan kawasan hutan dijalankan secara serampangan.
“Lalu sekarang BUMN menitipkan lagi ke pihak lainnya tanpa dasar hukum yang valid. Amburadul sekali!,”ujarnya.
Tak hanya dari sisi eksekusi kebijakan, IAE juga menemukan indikasi kelemahan dalam aspek administratif dan akuntabilitas keuangan. Merujuk pada Laporan Hasil Pemeriksaan BPK No. 08/XV/2022, Iskandar mengungkap bahwa lebih dari separuh kemitraan kehutanan, tepatnya 54,7 persen, dijalankan bersama koperasi yang tidak sah alias bodong.
Pihaknya pun mengaku khawatir pola ini akan terulang jika Satgas PKH tidak memperketat verifikasi terhadap mitra kerja di lapangan.
“Semoga tidak terealisasi dengan tak seharusnya DIPA Satgas PKH No. SP.DIPA-024.01.1.689380/2025 yang disebut-sebut mengalir Rp142 miliar ke PT. GN yang dikenal sebagai vendor PT. HK saat Satgas PKH mencabuti kebun sawit rakyat. Supaya tidak menjadi temuan auditor keuangan negara!,”katanya.
Selain aspek administratif dan keuangan, Iskandar juga menyoroti dampak sosial yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Ia menyebut sejumlah pelanggaran terhadap hak adat, termasuk kasus masyarakat Bathin Sobanga di Riau yang kehilangan tanah ulayat seluas 650 hektare meskipun memiliki dokumen sah sejak masa kolonial Belanda.
Kasus serupa juga terjadi di Tapanuli, Sumatera Utara, di mana hutan adat yang telah dikelola turun-temurun masyarakat lokal secara sepihak ditetapkan sebagai kawasan hutan negara.
“Hal itu tidak pernah terlihat disentuh oleh kinerja Satgas PKH. Lalu berkinerja seperti apa mereka selama ini? Apakah memang seperti itu perintah Presiden Prabowo Subianto? Kami ragu jika Presiden berkeinginan seperti kinerja Satgas PKH,”jelasnya.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut IAW IAW mengajukan lima langkah perbaikan untuk menghindari penyalahgunaan kebijakan dan memperkuat pengawasan diantaranya.
- Audit menyeluruh terhadap koperasi dan badan hukum mitra Satgas PKH.
- Pemeriksaan atas aliran dana pengamanan yang ditujukan ke korporasi.
- Peninjauan ulang atas penyerahan kawasan hutan ke BUMN dan eks-BUMN.
- Pembentukan Dewan Pengawas Sipil independen, melibatkan lembaga seperti Komnas HAM, WALHI, Dewan Adat Nasional, BPKP, dan akademisi.
- Evaluasi terhadap pejabat publik yang diduga terlibat dalam rekayasa kebijakan kehutanan untuk kepentingan korporasi.
“Hukum itu jangan seperti pisau, tajam ke bawah, tumpul ke atas. Satgas PKH seharusnya jadi penyelamat hutan, bukan menjadi jembatan privatisasi,”pungkasnya.
(Yusuf Mugni)