PANGANDARAN,FOKUSjabar.id: Keputusan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) terkait program Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) melalui penambahan kuota siswa di sekolah-sekolah menimbulkan perdebatan, khususnya di lingkungan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Aturan yang tercantum dalam Keputusan Gubernur No. 463.1/Kep/323-Disdik/2025 ini meminta satuan pendidikan menerima sebanyak-banyaknya 50 siswa tambahan.
Untuk menyikapi kebijakan tersebut, Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMK Kabupaten Pangandaran menggelar rapat bersama seluruh kepala SMK negeri dan swasta, bertempat di SMKN 1 Kalipucang, Selasa (8/7/2025).
Baca Juga: Jejak Mistis Embah Jaga Lautan Anak Angkat Nyi Roro Kidul di Goa Panggung Pangandaran
Ketua MKKS SMK Pangandaran, Drs. Ngadino Riyadi, menegaskan bahwa pada dasarnya kebijakan Gubernur bertujuan baik, yakni menekan angka putus sekolah dan mendukung program wajib belajar 15 tahun di Jawa Barat.
“Intinya, anak-anak di Jawa Barat minimal harus menamatkan pendidikan hingga tingkat SLTA,” ujar Ngadino.
Ia mengungkapkan, berdasarkan data di tingkat provinsi, angka anak putus sekolah masih cukup tinggi. Oleh karena itu, kebijakan ini dimaksudkan untuk menjangkau kelompok siswa yang terancam tidak melanjutkan pendidikandikenal sebagai kelompok PAPS.
Esensi Kebijakan Gubernur Jabar
Meski sempat menimbulkan polemik di kalangan sekolah, Ngadino mengatakan bahwa setelah dilakukan sosialisasi dan penjelasan lebih lanjut, suasana menjadi kondusif dan para kepala sekolah telah memahami esensi kebijakan tersebut.
“Setelah diberi pencerahan, semua bisa menerima dengan baik,” tambahnya.
Ngadino juga menegaskan, penambahan kuota 50 siswa tidak berarti setiap sekolah wajib menerima 50 siswa tambahan. Anak-anak tetap bebas memilih sekolah sesuai minat dan lokasinya.
“Tugas sekolah negeri hanya mengawal agar anak-anak PAPS ini tetap melanjutkan pendidikan, walaupun akhirnya bersekolah di tempat lain, termasuk swasta,” jelasnya.
Ia menjelaskan, data siswa PAPS bersumber dari pusat melalui sistem dapodik, bukan hasil input sekolah lokal. Misalnya, di wilayah Padaherang tercatat ada 122 anak yang termasuk kelompok PAPS. Namun setelah diverifikasi, sebagian besar dari mereka ternyata sudah terdaftar dan diterima di sekolah pilihan mereka.
“Ada sekitar 24 anak yang kemungkinan belum tertampung. Ini yang harus segera diakomodasi,” ucap Ngadino.
Jika jumlah siswa bertambah, sekolah siap membuka kelas tambahan. Namun tantangan lain muncul ketika minat siswa tidak sesuai dengan jurusan yang tersedia.
“Misalnya semua diterima di jurusan otomotif, tapi belum tentu semuanya berminat ke sana,” ungkapnya.
Dalam kondisi seperti itu, MKKS akan terus mengawal siswa PAPS hingga mereka menemukan sekolah dan jurusan yang sesuai minatnya, meskipun harus pindah ke sekolah swasta.
“Kami akan hubungi sekolah tujuannya agar pendataan tetap jelas. Yang penting, anak-anak tetap melanjutkan sekolah meskipun bukan di sekolah negeri,” pungkas Ngadino.
(Sajidin)