JAKARTA,FOKUSJabar.id: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyayangkan langkah kepolisian memproses laporan pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun, Panji Gumilang, dengan delik penodaan agama.
Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur, mengecam keras upaya kriminalisasi terhadap Panji Gumilang, karena mempidanakan pandangan dan amalan keagamaan yang berbeda merupakan pelanggaran terhadap hak, kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan berkepercayaan.
Padahal, kata dia, Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
BACA JUGA: Bareskrim Polri Belum Temukan Dugaan Pencucian Uang Panji Gumilang
Isnur, pola kriminalisasi terhadap Panji mirip dengan pola kriminalisasi pada kasus penodaan agama sebelumnya. Dalam kasus polemik itu, hukuman justru diberikan melalui proses pengadilan yang berdasarkan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang disertai mobilisasi dan tekanan massa.
Isnur mengkhawatirkan aparat pemerintah dan penegak hukum, baik di pusat maupun daerah, tidak melakukan pencegahan dan penegakan hukum secara adil dan optimal, sebagaimana terjadi dalam kasus kriminalisasi sebelumnya, ketika MUI sangat agresif dan massa diberikan tempat untuk mengintimidasi, bahkan mengancam dengan kekerasan.
“Polisi harus menghentikan kriminalisasi terhadap Panji Gumilang. Ini pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius, karena terus berulang merampas hak dan kebebasan beragama yang dijamin konstitusi,” ucap Isnur, seperti dalam keterangan tertulisnya, baru-baru ini.
SETARA Institute mencatat, penerapan pasal-pasal penodaan agama lebih tampak sebagai ‘peradilan’ oleh tekanan massa (trial by mob). Pasal-pasal penodaan agama merupakan ketentuan hukum yang problematis, dengan unsur-unsur pidana yang kabur dan tidak memberikan kepastian hukum.
Padahal, menurut SETARA, pandangan dan ijtihad keagamaan Panji Gumilang merupakan bentuk kebebasan beragama, berpendapat, dan berekspresi warga yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara.
“Kami menuntut pihak kepolisian untuk tidak tunduk pada tekanan massa dan kelompok keagamaan tertentu, seperti MUI, yang memberikan fatwa (pendapat) tunggal dan tertutup atas pemahaman keagamaan Panji Gumilang,” kata Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, melansir IDN.
Sementara itu, Koordinator Nasional Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB), Angelique Maria Cuaca, mendorong kepada semua pihak, seperti masyarakat, tokoh agama, politisi, hingga aparat dan pemerintah, agar menghormati pandangan keagamaan dan kepercayaan beserta ekspresinya yang dilakukan secara damai serta tidak melanggar hak warga lainnya.
Tidak hanya menuntut aparat hukum menghentikan kriminalisasi terhadap Panji Gumilang, Sobat KBB juga mengingatkan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, untuk tidak membatasi dan menutup aktivitas Pondok Pesantren Al-Zaytun.
Sebab, kata Angelique, tanggung jawab negara ialah memfasilitasi kebebasan beragama. Maka, kata dia, pasal penodaan agama harus dihapus.
“Hentikan kriminalisasi dan kekerasan atas nama agama. Dewasalah menyikapi perbedaan dengan saling menghormati untuk membangun kebersamaan dan kehidupan yang bermartabat, penuh damai, di Indonesia,” ucap Angelique.
(Agung)