JAKARTA,FOKUSJabar.id: Pengacara Hotman Paris Hutapea mengritisi Pasal 100 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo dalam kasus pembunahan berencana terhadap Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Hotman menilai, pasal ini justru membuka celah bagi terdakwa agar terbebas dari hukuman mati.
KUHP Pasal 100 tersebut menjelaskan, terdakwa hukuman mati harus diberikan kesempatan 10 tahun di penjara terlebih dahulu, sebelum diputuskan menjalani hukuman mati. Jika dalam jangka waktu 10 tahun terdakwa ternyata berkelakuan baik, maka majelis hakim dapat mempertimbangkan vonis mati tersebut.
BACA JUGA: KPK Lelang 3 Mobil Mewah Milik Koruptor Lissa Rukmi Utari
“Nalar hukumnya di mana ini orang-orang yang buat undang-undang (KUHP)? Nih, Pasal 100 nih, di Pasal 100 disebutkan seseorang terdakwa yang dijatuhkan hukuman mati, gak bisa langsung dihukum mati, harus dikasih kesempatan 10 tahun, kesempatan 10 tahun apakah dia berubah berkelakuan baik?” tanya Hotman, dikutip dari akun Tiktok @sanghyangcicika, Selasa (14/2/2023).
Hotman menyebut, terdakwa pasti rela merogoh kantong dengan nominal berapapun demi surat kelakuan baik dari kepala lapas penjara.
Hal ini, kata dia, tentu bakal menjadi sia-sia, apalagi sudah melewati tahap persidangan yang panjang hingga vonis hukuman mati.
“Yah, nanti bakal mahal deh surat keterangangan kelakuan baik oleh kepala lapas penjara, daripada dihukum mati? Orang berapapun akan mau, mau mempertaruhkan apapun untuk mendapatkan surat keterangan kelakuan baik dari kepala lapas penjara,” kata dia.
“Jadi, apa artinya gitu loh, sudah persidangan, sudah divonis sampai pegang hukuman mati, tapi tidak boleh dihukum mati, harus menunggu 10 tahun untuk melihat apakah mental orang ini berubah menjadi kelakuan baik?” lanjut Hotman
Hotman tampak jelas sangat tidak mendukung Pasal 100 KUHP. Selain meringankan hukuman terdakwa, menurutnya, kepala lapas penjara juga berpotensi menerima suap dana besar.
“Yah, di penjara yang menentukan kelakuan baik kan kepala lapas. Waduh, surat keterangan kelakukan baik ini pasti surat paling mahal harganya di dunia,” ujar dia.
Hotman juga menyindir keras perancang KUHP baru tersebut. Ia menyebut, yang membuat undang-undang ini bukanlah praktisi hukum yang sebenarnya, melainkan sekadar dosen.
“Dari jabatan yang sangat-sangat prestisius dan sangat bergengsi yang hukuman mati harus menunggu 10 tahun agar bisa dieksekusi, dan kalau selama 10 tahun mendapatkan surat keterangan baik, maka hukuman matinya tidak boleh dilaksanakan. Undang-undang siapa sih yang bikin ini? Yang bikin ini pasti bukan praktisi hukum, kebanyakan dosen seperti saya,” kata dia.
Karena itu, Hotman berharap, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat mencabut undang-undang tersebut.
“Sepertinya yang bikin ini kebanyakan profesor atau dosen, bukan praktisi hukum yang benar-benar ahli dalam praktik, Bapak Jokowi segera batalkan undang-undang ini. Salam Hotman Paris!” ujar dia.
(Agung)