Kamis 12 Desember 2024

Viral Pelecehan Anak di Mal Bintaro, Kinerja Polisi Dikritik!

JAKARTA,FOKUSJabar.id: Indonesia Judicial Research Society (IJRS), The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Center on Child Protection and Wellbeing at Universitas Indonesia (PUSKAPA) mengecam kasus kekerasan seksual oleh seorang pria terhadap beberapa anak di mal Bintaro Xchange, Tangeran Selatan, pada Minggu, 26 Juni 2022.

Namun, laporan atas dugaan pelecehan seksual pada anak itu berakhir saat polisi melakukan mediasi antara keluarga pelapor dan pelaku.

Pelaku mengalami gangguan mental sejak dipecat. Pelaku pun berujung dibawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk pengobatan.

Dengan fakta demikian, ketiga lembaga tersebut meminta kepolisian untuk memperbaiki mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual yang dimiliki saat ini.

IJRS, ICJR, dan PUSKAPA memberikan beberapa catatan kritis yang perlu direspons kepolisian.

BACA JUGA: Pernikahan Beda Agama Resmi Ditolak di Indonesia!

Ketiga lembaga tersebut menyayangkan pernyataan Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Polres Tangerang Selatan, Iptu Suswanto yang menyebutkan, apa yang dilakukan pelaku bukanlah pelecehan seksual secara fisik karena korban hanya dipegang di luar saja.

“Sejatinya, kasus tersebut sudah termasuk pelecehan seksual terlepas dari bagian tubuh mana yang disentuh pelaku, baik terjadi dalam ruang tertutup maupun ruang publik. Ini didasarkan pada definisi yang menyebutkan bahwa perbuatan pelecehan seksual secara fisik adalah kontak seksual yang tidak dikehendaki dengan pelaku,” tulis ICJR, IJRS dan PUSKAPA, dilansir Selasa (7/5/2022).

“Hal ini termasuk, menyentuh dengan sengaja, baik secara langsung atau melalui pakaian, pada alat kelamin, anus, selangkangan, payudara, paha bagian dalam, atau pantat siapapun tanpa kehendak, atau orang tersebut menolak,” lanjutnya.

Pelecehan seksual sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Pasal 6 huruf a.

Dalam konteks seksual, unsur persetujuan atau consent jadi aspek penting. Pasalnya, karena suatu tindakan yang dilakukan tanpa persetujuan adalah kekerasan seksual.

Consent dipengaruhi oleh keleluasaan dan kapasitas seseorang untuk memberikan persetujuan. Namun, ada beberapa kondisi bahwa consent tak bisa bebas diberikan seseorang.

Kondisi yang dimaksud adalah ketika orang tersebut memang tidak memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan (non competent consent), salah satunya anak.

“Anak merupakan salah satu subjek non competent consent yang belum cakap. Ketika dilakukan suatu tindakan seksual (seperti persetubuhan) terhadap anak, tindakan tersebut sudah termasuk sebagai kekerasan seksual, terlepas dari adanya persetujuan yang diberikan. Persetujuan tidak lagi relevan untuk dipertanyakan dalam kondisi ini,” ujar mereka, sepeti dilansir IDN.

Sebelumnya, Kanit PPA Polres Tangerang Selatan juga mengatakan, proses hukum tak bisa dilakukan dalam kasus tersebut karena keluarga pelaku menjelaskan ada surat keterangan dari RSJ.

Meski demikian, kasus itu dinilai masih bisa dilanjutkan dengan mengembangkan bukti yang ada, yaitu keterangan saksi ibu korban dan alat bukti elektronik.

“Tidak semua tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga yang perlu dilakukan adalah penilaian oleh ahli, bukan penilaian mutlak polisi sebagai aparat penegak hukum,” ujar mereka.

Selain itu proses mediasi dinilai tak tepat dalam kasus kekerasan seksual, maka perlu penyesuaian kebijakan internal, terutama untuk mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual.

(Agung)

Berita Terbaru

spot_img