BANDUNG,FOKUSJabar.id: Sekolah Farmasi ITB mengadakan penyuluhan terkait pengolahan sampah secara virtual melalui zoom meeting, Sabtu (31/07/21). Acara merupakan rangkaian kegiatan pengabdian masyarakat yang diadakan di Desa Tanjungsari, Gunungtanjung, Tasikmalaya.
Penanggungjawab kegiatan, Dr. Hegar Pramastya mengatakan, kegiatan diikuti peserta dari perwakilan karang taruna dari masing-masing dusun yang ada di Desa Tanjungsari.
“Kegiatan ini sebagai bentuk implementasi atas kegiatan Program Pengabdian kepada Masyarakat ITB atau PPMI KK Biologi Farmasi Sekolah Farmasi ITB tahun 2021. Kegiatan ini merupakan inisiasi bersama dari dosen-dosen Sekolah Farmasi ITB sehingga di tahun ini mulai diadakan kegiatan di desa Tanjungsari sebagai desa binaan,” kata Dr. Hegar, Senin (20/12/2021).
Kegiatan menghadirkan narasumber dari Yayasan Adiba Kamila, Leni Syariyenti. Narasumber menyampaikan pengalaman yang membuatnya tergerak mengelola sampah terutama di sekitar rumahnya di daerah Padalarang.
“Berawal dari tumpukan sampah yang ada setiap minggu di sekitar rumah saya. Jadi setiap hari jumat ada truk sampah yang mengambil sampah dari dua RW. Jadi selama satu minggu saat sampah belum diambil, akan tercium bau sampah. Sehingga ada keinginan untuk bergerak dan berinisiasi mengurangi sampah tersebut, supaya tidak bau,” kata Leni.
Dengan data yang diperoleh, lanjut dia, sampah rumah tangga akan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Idealnya, TPA adalah tempat pemprosesan akhir, bukan pembuangan akhir sehingga sampah dikelola sesuai jenisnya dan bentuknya.
Namun dalam kenyataannya, TPA hanya sebagai tempat pembuangan akhir. Akibatnya, beberapa permasalahan pernah timbul dan dikhawatirkan akan kembali terjadi. Salah satunya kejadian longsor sampah di TPA Leuwigajah pada 21 Januari 2005 dan menyebabkan 143 warga meninggal, 71 rumah serta 2 kampung terkubur.
“Akibat kejadian longsor di TPA Leuwigajah waktu itu, banyak sampah yang tidak diambil dari setiap rumah karena TPA sedang longsor sehingga berbulan-bulan sampah tersebut tidak diambil. Ini seharunya menjadi pelajaran besar untuk kita sebagai masyarakat dan juga untuk pemerintah,’ Leni menegaskan.
BACA JUGA: PASI Jabar Sukses Gelar Penataran Petugas Teknik Atletik Nasional Tingkat Madya
Tahun 2020, data KHLK menunjukkan, sampah nasional mencapai 67,8 juta ton. Artinya ada sekitar 185.753 ton sampah setiap harinya dihasilkan 270 juta penduduk. Atau setiap penduduk menghasilkan 0,68 kilogram sampah per hari.
Jika dibandingkan dengan data tahun 2017, sampah nasional mencapai 64 juta ton yang kalau dibandingkan setara dengan 764 candi Borobudur. Hal ini menunjukkan jika setiap tahun, volume sampah terus meningkat.
“Sampah yang tidak terpilah itu akan menjadi masalah. Sampah umumnya akan menumpuk di TPA dan bahkan di lautan. Hampir 80 persen sampah yang menggenang atau tenggelam di laut, itu berasal dari darat yang terbawa aliran sungai. Bagaimana bisa terjadi? Ini karena adanya fenomena membuang sampah di sungai yang jelas akan bermuara di laut. Betapa sedihnya kita ketika mendengar berita hewan yang terdampar di laut dan setelah dilihat isi perutnya ternyata berisi plastik, kain dan sampah lainnya,” Leni menuturkan.
Komposisi sampah, kata Leni, bisa dibagi berdasarkan jenis dan sumbernya. Berdasarkan jenis, 60 persen merupakan sampah organik berupa sisa sayur, buah, ikan, tulang, daun, ranting dan lain-lain. Sementara sisanya 40 persen, merupakan sampah anorganik seperti plastik, karet, logam, kain, dan kaca.
Komposisi sampah berdasarkan sumber, yang paling banyak berasal dari rumah tangga sebanyak 37 persen. Sisanya, berasal dari pasar tradisional, kawasan industri, perniagaan, perkantoran, dan lain sebagainya.
“Lalu solusinya? Kembalikan ke rumah, yang merupakan sumber penyumbang sampah organik terbanyak. Sebaiknya setiap rumah membagi sampah menjadi dua yaitu organik dan anorganik. Untuk organik yang umumnya berupa sisa makanan, sisa sayur dan buah bisa dikembalikan ke alam sedangkan untuk yang anorganik bisa kita manfaaatkan kembali,” kata Leni.
Leni pun menyampaikan beberapa tips yang dapat dilakukan di setiap rumah untuk mengelola sampah organik.
- Mengurangi sampah organik dengan dua cara. Pertama, belanja makanan sesuai dengan kebutuhan sehingga tidak ada makanan yang terbuang. Kedua, menghabiskan sisa makanan sehingga bisa mengurangi jumlah sampah organik di rumah.
- Membuat kompos dirumah sendiri dari sisa sayur, sisa buah. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan ember atau dengan membuat lubang di kebun atau lahan yang dimiliki.
- Beternak Lalat Tentara Hitam (Black Soldier Fly) atau sering disebut BSF. Lalat ini memiliki kemampuan untuk mengurai sampah organik menjadi pupuk. Larva lalat membutuhkan asupan yang bisa diperoleh dari sampah organik. Larva ini akan memakan dan mengurai sampah organik tersebut sampai usia menuju menetas menjadi lalat. Di Padalarang, cara ini sudah mulai diuji cobakan untuk mengolah sampah organik dari pasar tradisional. Sampah-sampah diletakkan di reaktor yang isinya larva dengan kapasitas sehari bisa mengolah 15 kg sampah. Sehingga, satu bulan sebanyak 400-500 kg sampah dapat diolah di reaktor tersebut. Hasil produk berupa kompos padat dan pupuk cair.
- Regrow (ditanam kembali) seperti daun bawang
“Lalu apa manfaatnya mengompos? Yang pertama adalah menghemat uang, karena kalau kita bercocok tanam, tidak perlu lagi pupuk organik yang lain. Hal ini juga akan memotivasi kita untuk punya tanaman, punya kebun, karena kita memiliki sumber daya yaitu kompos tadi. Yang kedua yaitu meningkatkan kualitas tanah Unsur yang dibutuhkan tanah bisa dari kompos organik yang telah kita buat. Dan terakhir, kita dapat ikut berperan serta dalam menjaga lingkungan, ikut mengurangi sampah yang diangkut ke TPA dan yang mencemari laut,” Leni memaparkan.
Pengelolaan sampah, kata dia, akan lebih baik jika dilakukan bersama-sama. Salah satunya dengan membuat bank sampah di lingkungan masing-masing. Setiap rumah diminta untuk memilah sampah rumah tangganya masing-masing lalu ditabung atau disetorkan ke bank sampah.
Hasil dari pengumpulan sampah akan disetorkan ke tempat pembuatan kerajinan dari sampah atau ke tempat pengepul sampah. Bank sampah dikelola menggunakan sistem seperti perbankan yang dilakukan oleh petugas sukarelawan. Penyetor adalah warga yang tinggal disekitar lokasi bank sampah serta mendapat buku tabungan seperti menabung di bank.
“Dengan pengelolaan sampah, baik anorganik maupun organik, yang dikelola dalam skala komunitas, diharapkan tidak hanya dapat menjadi solusi kebersihan lingkungan, namun juga menciptakan ekonomi sirkular yang berkelanjutan,” kata dia.
(Ageng)