Oleh : Aep Saepudin, S.Ag
GARUT,FOKUSJabar.id: Rakyat Indonesia patut bersyukur kehadirat Allah SWT, karena berkat Tuhan Yang Maha Esa Bangsa Indonesia bisa Merdeka (17 Agustus 1945).
Kini, tanah air yang kita cintai ini sudah merdeka selama 76 tahun dari penjajah.
Sejarah panjang bagaimana para pahlawan merebut kemerdekaan, tentunya tidak semudah menggoreskan pena, tetapi memerlukan pengorbanan. Baik tenaga, pikiran, harta bahkan nyawa.
Banyak peristiwa berdarah terjadi menjelang dideklarasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Itu semua merupakan salah satu kenangan yang tidak bisa terlupakan bagi keluarga yang orangtuanya gugur di medan pertempuran.
BACA JUGA: Sempurnakan Ikhtiar, Jabar Gelar Munajat Akbar
Kalau dulu para pahlawan berjibaku melawan penjajah, tahun 2021, para pengemban amanat bangsa sedang berjibaku melawan Corona Virus Disease (Covid-19) yang telah menelan ribuan korban nyawa.
Semoga mereka diterima iman Islamnya, diampuni segala dosa, dilapangkan dan diterangkan di alam kuburnya serta berada di tempat yang mulia di sisi Allah SWT. Aamiin.
Makna kemerdekaan adalah kebebasan. Semoga kita semua bisa bebas dalam menyuarakan kebenaran, menegakan keadilan, bebas untuk mendapatkan pendidikan, bebas untuk mendapatkan penghidupan yang layak, bebas untuk berekspresi, bebas untuk menyatakan pendapat, bebas untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing.
Sebagai seorang guru, makna dari kemerdekaan adalah bebas untuk mendapatkan pendidikan. Itu artinya bagaimana seluruh rakyat Indonesia untuk bisa mengeyam pendidikan. Baik itu anak pejabat, aparat, birokrat, teknokrat, konglomerat sampai dengan rakyat melarat, mereka harus bisa merasakan bagaimana menikmati bangku sekolah sehingga bisa membaca, menulis dan berhitung (Calistung).
Para generasi penerus bangsa bisa Calistung karena peran dari seorang guru yang merupakan sebuah profesi yang sangat terhormat. Karenanya tenaga pengajar mendapatkan gelar sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dan nama guru diistilahkan “Digugu jeung Ditiru.”
Guru adalah seseorang yang bisa menjadikan orang lain (murid) nya menjadi terhormat, menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota, camat, lurah, RW, RT dan profesi lainnya (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), sementara pendidik tetap menjadi guru yang penghasilan tetapnya dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan.
Gaji guru honorer antara Rp200-600 ribu per bulan. Sementara kebutuhan hidupnya minimal Rp1-1,5 juta per bulan.
Sedangkan untuk melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), seorang guru menghadapi era digital dan teknologi dituntut memiliki HandPhone (HP), komputer, laptop dan penunjang pembelajaran lainnya.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan penghasilan yang diterima para guru honorer. Di mana seorang guru harus melaksanakan KBM kepada peserta didik secara daring yang tentunya memerlukan kuota internet yang lumayan cukup menguras isi dompet.
Pendapatan para guru honorer tidak bertambah sedangkan pengeluarannya justru bertambah banyak karena harus diam di rumah, tidak bisa melakukan pekerjaan tambahan/sampingan seperti jualan, ngojek dan bisnis kecil-kecilan karena terbentur aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Banyak program pemerintah untuk pemulihan penanganan Covid-19 berupa Bantuan Sosial (Bansos). Tapi masih banyak para guru honorer tidak menerima program bantuan tersebut. Misalnya, bantuan kuota internet, PKH, BPUM serta bantuan sosial lainnya.
Status Guru Honorer terkadang suka dilirik sebelah mata, ketika para guru PNS mendapatkan gaji ke 13, guru honorer hanya sebatas menunggu kebijakan dari sekolah tempat mereka bekerja.
Demikian pula dengan tunjangan sertifikasi guru belum semuanya mendapatkan. Terlebih, saat ini untuk bisa mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) harus mengeluarkan isi kocek sendiri dengan jumlah kuota yang terbatas.
Semoga dimomentum HUT ke-76 kemerdekaan RI, pemerintah dapat memperhatikan nasib para guru honorer yang sekarang sedang berharap banyak supaya bisa lolos menjadi ASN P3K. Di mana Kementerian Pendidikan membutuhkan 1 juta guru honorer untuk diangkat jadi P3K.
Tapi dalam perjuangannya, guru sepuh masih harus terus bersaing dengan para guru muda yang masih press, sementara guru honorer yang di atas umur 35 tahun, banyak keterbatasan, belum melek teknologi, banyak lupanya tentang pengetahuan yang akan diujikan serta banyak kekurangan lainnya jika dibandingkan dengan para guru honorer yang masih muda.
(Penulis adalah Ketua DPC Fagar Kecamatan Cibatu, guru honorer SMAN 3 Garut, SMA/SMP Almadinah Cibatu)