CIMAHI,FOKUSJabar.id: Kampung Adat Cireundeu di RW 10, Kelurahan Leuwi Gajah, Kecamatan Cimahi selatan kota Cimahi ini menjadi tapal batas denyut nadi kehidupan Kota Cimahi.
Dengan digarisi oleh hijaunya perbukitan yang bersaing dengan sejumlah bangunan industri di sekelilingnya. Akses jalan yang dilalui truk-truk bertonase semakin menambah kesan kemustahilan akan hadirnya masyarakat adat Cireundeu di sebuah kota.
Kampung Adat Cireundeu ini hanya dihuni 330 Kepala Keluarga (KK). sedikitnya 60 KK masih memegang teguh ajaran adat istiadat leluhurnya. Kampung dengan luas tanah sekitar 64 hektar itu, 4 hektanya untuk permukiman dan 60 hektar sisanya digunakan untuk pelestarian hutan dan pertanian.
Letak kampung Cireundeu yang berada di sudut lembah Kota Cimahi bagian selatan ini dibentengi tiga gunung, yakni Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu. Gunung itu sekaligus menjadi pembatas Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung.
BACA JUGA: Meninggal, Dua Warga Cimahi Masuk Kategori Probable Covid-19
Hal inilah yang membawa keuntungan tersendiri. Sebab warga yang berada di Kampung Cireundeu masih bisa menikmati hijaunya pepohonan dan perbukitan di tengah-tengah pembangunan Kota Cimahi.
Kampung adat ini sudah ada sejak abad ke 17 dan merupakan garis keturunan dari kabuyutan Ciamis saat perang Bubat terjadi. Buyutnya yang memiliki tiga orang keturunan itu masing-masing hijrah ke kampung Cireundeu, Kampung Cibogo dan Kampung Lagadar yang masih merupakan wilayah kerajaan Pajajaran pada waktu itu. Hijrahnya leluhur Kampung Cirendeu karena mereka tidak mau dipengaruhi kerajaan Majapahit akibat perang tersebut.
Kampung adat Cireundeu ini mempunyai sistem kemasyarakatan adat yang diatur oleh kasepuhan atau sesepuh sebagai yang ditua kan, ais pangampih sebagai penerima tamu dan ais pangintren sebagai penggerak.
Sementara untuk pusat segala kegiatan adatnya, biasa dilaksanakan di sebuah bale dan pendopo. Di tempat itu biasanya dilaksanakan segala aktivitas yang berkenaan dengan urusan adat istiadat. Baik itu permasalahan pribadi atau permasalahan yang terkait dengan adat istiadat Cireundeu.
Selain itu bale dan pendopo ini bisa digunakan untuk perayaan hari-hari besar masyarakat adat Cireundeu. Seperti pesta panen yang merupakan ungkapan rasa syukur atas anugerah yang diberikan tuhannya.
Jika terjadi masalah antara salah satu warga kampung adat, maka ais pangintren akan melaporkan kepada sesepuh untuk selanjutnya diadakan musyawarah antara sesepuh dengan kedua belah pihak yang bertikai di ruang pendopo. Selain itu, pendopo dan bale juga dipakai untuk perayaan hari 1 syuro sebagai pesta panen bagi kepercayaan adat Cirendeu.
(Asep/Olin)