Sabtu 11 Januari 2025

Ekonomi Indonesia Melambat Dipengaruhi Produktivitas Buruh Yang Lemah

BANDUNG, FOKUSJabar.id: Produktivitas buruh Indonesia diakabarkan terendah kedua di Asean, hal tersebut membuat pertumbuhan ekonomi di Indonesia melambat.

Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan, hal tersebut sangat berlawanan dengan upah buruh di Indonesia malah relatif tinggi. Harusnya kata dia, upah yang tinggi tidak mempengaruhi produktivitas, harusnya upah tinggi produktivitas juga tinggi.

“Untuk bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi maka kita butuh productivity. Jika kita bicara productivity maka kita bicara labor productivity (produktivitas buruh). Produktivitas buruh kita nomor dua terendah se-Asean,” kata Fithra Faisal dari rilis yang diterima Kamis (23/4/2020).

Berdasarkan penelitian, productivity level di Indonesia tumbuh 2 persen, sedangkan upah tumbuh 30 persen per tahun. Fithra menambahkan rendahnya produktivitas buruh di Indonesia ini juga mempengaruhi lambatnya pertumbuhan investasi di Indonesia. 

“Kalau dibandingkan dengan Myanmar, pertumbuhan produktivitasnya tercatat bisa mencapai 80 persen. Nah ini yang menyebabkan adanya appetite (keinginan) dari investor untuk masuk ke Myanmar,” kata Fithra.

Menurut Fithra jika dibandingkan dengan negara-negara Asean, Indonesia masih belum bisa menarik para investor untuk bisa berinvestasi. Padahal dulunya, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam, cenderung tidak dilirik investor.

Baca juga: Sidang Isbat Menetapkan Awal Puasa, Jumat 24 April 2020

“Ketika saya sebagai investor misalnya ingin masuk ke Asia Tenggara, maka saya akan masuk ke Vietnam, Thailand, Myanmar, Malaysia, dan Filipina, bukan Indonesia,” kata Fithra.

Fithra berharap pendekatan omnibus law RUU Cipta Kerja yang kini tengah dibahas Pemerintah dan DPR RI bisa mengatasi permasalahan ini.

“Masalah produktivitas ini bisa seharusnya terselesaikan oleh omnibus law,” kata Fithra.

Ketika berbicara tentang industri, kata Fithra, maka yang perlu difokuskan adalah institusinya, bukan semata-mana mengenai pendanaan fiskal dan moneter tradisional. Ketika bicara institusi, berati bicara mengenai labor reform and tax reform, atau reformasi buruh dan pajak.

“Itu yang bisa membuat industri kita melejit. Tanpa itu, maka kita tidak akan survive pada momentum bonus demografi,” ujarnya.

Fithra menekankan betapa pentingnya aspek institusional, tax reform, labor reform, dan juga infrastruktur dalam membangun perekonomian. Infrastruktur sendiri, katanya, sudah menjadi fokus pemerintah di periode pertama.  

“Infrastruktur sebagai cangkangnya. Tapi ini saja tidak cukup, butuh labor dan tax reform. Makanya ketika muncul ide tentang omnibus law, saya sangat mendukung,” katanya.

Perekonomian Indonesia, kata dia, butuh pertumbuhan sekitar 6,5 persen sampai 2030. Angka tersebut didapatkan dari pertumbuhan ekspor 9,8 persen per tahun rata-rata, dan hal ini baru terjadi jika Indonesia bisa menggenjot ekspor.

“Kalau kita bisa mencapai tingkat kontribusi industri terhadap perekonomian minimal 22 persen sampai 23 persen dari kondisi sekarang, itu mungkin bisa tercapai. Berarti balik lagi untuk bisa mencapai itu, cara mencapainya adalah bangunan institusional,” katanya.

Fithra mencontohkan, peningkatan industri di Vietnam muncul hasil kerja keras perbaikan perekonomian secara konsisten sejak 25 tahun lalu. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang kebijakannnya berubah setiap pergantian presiden. 

“Ganti presiden, ganti kebijakan. Fokusnya pun barubah-ubah, tidak ada jalianan yang berkesinambungan. Jadi ini PR-nya. Seharusnya kalau punya Rencana Pembangunan Jangka Panjang  atau RPJP, tetap di RPJP. Tapi ini tidak begitu. Yang ada lebih ke arah bottom-up, jadi yang dikerjakan tahun ini disesuaikan dengan RPJP, ini harusnya bisa minimalisir. Pendekatan omnibus law ini seharusnya bisa lebih seperti itu,” tutur dia.

(As)

Berita Terbaru

spot_img