Kamis 12 Desember 2024

Soal Natuna, Menhan Didorong Perkuat Persenjataan Bakamla

BANDUNG, FOKUSJabar.id: Keberadaan puluhan kapal nelayan Cina yang dikawal dua kapal penjaga pantai serta satu kapal perang Angkatan Laut Cina jenis Fregat di perairan Natuna, Kepulauan Riau pada Desember 2019 hingga berujung pengklaiman wilayah dinilai menjadi momentum tepat memperkuat Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI.

Anggota Komisi 1 DPR RI Fraksi NasDem Muhammad Farhan mendorong Kementrian Pertahanan (Kemenhan) untuk memperkuat persenjataan dan wewenang Bakamla dalam penindakan di perbatasan terhadap kapal – kapal asing.

“Kita sangat mendukung salah satu poin penting pada rapat Kemenkopolhukam, Menhan Prabowo Subianto telah menyarankan untuk mengubah Permenhan yang memberikan wewenang Bakamla untuk memperkuat senjata yang diharapkan dapat memperkuat pengamanan kedaulatan wilayah laut NKRI,” kata Farhan di sela reses DPR RI di Bandung, Senin (6/1/2020).

Menurut dia, tindakan Bakamla terhadap kapal-kapal asing patut diapresiasi. Namun Bakamla dinilai kurang kuat persenjataan ketika dihadapkan dalam situasi panas. Bakamla diketahui diisi oleh personel militer dan sipil yang memumpuni.

“Harus kita apresiasi sikap tegas Bakamla yang langsung mengusir kapal nelayan Vietnam dan asing lainnya di wilayah yang overlap. Dan untuk yang sudah masuk wilayah yang bukan overlap, Bakamla dengan tegas langsung menangkap kapal – kapal asing tersebut,” kata Farhan.

Farhan menilai, aktivitas perahu asing masuk kawasan Natuna lebih banyak dibandingkan kapal nelayan Indonesia. Bahkan, kata dia, sebuah media asing sempat menyebutkan perbandingan jumlah kapal nelayan Vietnam dengan Indonesia adalah 150 : 1. Bahkan menurut informasi, operasi Bakamla di Natuna hampir tidak pernah menemukan nelayan Indonesia, tetapi lebih banyak ditemukan nelayan asing.

Kekayaan alam di kawasan Natuna yang menjadi sorotan negara – negara luar hingga berani diklaim oleh Cina, merupakan ancaman serius. Industri perikanan asing sangat dominan di seputar perairan Natuna.

BACA JUGA: Belum Genap 3 Bulan Menjabat Menhan, Prabowo Sudah Kunjungi 7 Negara

“Saat ini membuat wilayah di sana nampak lebih dikuasai oleh nelayan Vietnam dan Tiongkok,” kata dia.

Hingga saat ini pemerintah memberlakukan penjagaan dan pengusiran terhadap Cina Cost Guard dan kapal nelayan. Namun ‘mereka’ tidak menggubris karena stand point wilayah tersebut milik mereka.

“Kami sejalan dengan keputusan politik nasional bahwa wilayah itu merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia berdasarkan konvensi hukum laut di bawah PBB (UNCLOS) 1982. Kita juga menghormati putusan Permanent Court of Arbitration (PCA) tentang SCS, dimana Nine Dash Line dari klaim tidak kita akui, maka kita menolak segala klaim (Cina) di Natuna. Pemerintah perlu menguatkan posisi tersebut dengan menggelar operasi berkordinasi dengan TNI dan Bakamla,” kata Farhan.

Seperti diketahui, Bakamla menyatakan bahwa kapal-kapal Cina mulai terdeteksi muncul di perairan dekat Natuna sekitar 10 Desember 2019. Sejak saat itu Bakamla terus memantau pergerakan kapal-kapal itu. Kapal-kapal itu masih berada di landas kontinen Indonesia pada 15 Desember. Bahkan kapal-kapal itu mematikan alat radar automatic identification system (AIS) mereka.

Mengetahui hal itu, Direktur Operasi Laut Bakamla Laksamana Pertama Nursyawal Embun mengatakan bahwa Bakamla langsung mengerahkan kapal KM Tanjung Datuk untuk memeriksa ke lokasi.

“Akhirnya kami bertemu kapal-kapal itu tanggal 19 Desember. Kami lalu lakukan pengusiran, mereka mau nurut dan bergerak ke arah utara (menjauhi perairan Indonesia),” kata Nursyawal.

Meski sempat menjauh, kata dia, rombongan kapal-kapal ikan Cina itu kembali memasuki wilayah ZEE Indonesia sekitar tanggal 23 Desember 2019.Berdasarkan data radar, Bakamla semula mendeteksi kapal-kapal itu berjumlah belasan. Namun, ketika ditemui di lapangan, kapal-kapal ikan Cina itu berjumlah lebih dari 50 unit dan dikawal dua kapal penjaga pantai serta satu kapal perang Angkatan Laut Cina jenis fregat.

Bakamla lantas mengerahkan kapal KM Tanjung Datuk dan melakukan kontak via radio untuk meminta kapal-kapal itu keluar dari perairan Indonesia.

“Namun mereka menolak permintaan kami dengan menegaskan bahwa itu adalah wilayah perairan dan penangkapan ikan mereka,” kata Nursyawal.

(LIN)

Berita Terbaru

spot_img