TASIKMALAYA, FOKUSJabar.id: Program Instruksi Presiden (Inpres) Tahap III untuk percepatan pembangunan prioritas nasional di Tasikmalaya menjadi tuaian kritik dari masyarakat.
Proyek Normalisasi Irigasi Cikalang 2 Cibeureum dengan nilai Rp5,6 Miliar dari BBWS Citanduy yang di kerjakan kontraktor utama PT. HUTAMA KARYA (Persero) menjadi sorotan.
Dan masyarakat pun menduga bahwa proyek tersebut hanya akan menjadi ajang “serap anggaran” tanpa manfaat maksimal.
Salah satu kejanggalan utama dari proyek tersebut adalah durasi kontrak yang terkesan di paksakan. Dan penyelesaian pekerjaan senilai Rp5,6 Miliar ini hanya di beri waktu 2 bulan.
Baca Juga: Priangan Bamboo Fest Kriyaloka 2025 Berakhir, Ini Janji Rani Permata
“Bagaimana tidak, nilai anggaran sebesar Rp5,6 Miliar hanya di laksanakan dalam waktu 2 bulan. Dan sekarang hanya tinggal beberapa hari lagi. Sementara progres pekerjaan di lapangan saat ini belum mencapai 50 persen,” ungkap Ketua Aliansi Masyarakat Cibeureum, Heri Ferianto, Senin (15/12/2025).
Yang akhirnya, Kondisi ini memicu dugaan kuat bahwa proyek ini tengah “kejar tayang” yang berisiko mengorbankan kualitas. Dan Masyarakat Cibeureum merasa khawatir. Jika di paksakan, hasil ukur elevasi irigasi tidak akan maksimal, membuat air yang di nanti-nantikan tetap sulit mengalir.
Pengawasan Minim, Desak Audit
Kekacauan proyek ini mengarah pada masalah mendasar, minimnya pengawasan dan transparansi. Dalam audiensi, dengan BBWS Citanduy.
Menurut Heri Ferianto, hasilnya gagal memberikan dokumen perencanaan yang jelas. Bahkan melimpahkan tanggung jawab ke PUPR Kota Tasikmalaya yang ironisnya tidak hadir.
Selain itu, kata Heri, pekerja di lapangan mengaku tidak menerima gambar teknis. Dan menunjukkan adanya lost control dari BBWS Citanduy serta Kontraktor Utama.
Heri menyampaikan, bahwa kontrak Konsultan Supervisi di laporkan baru di tandatangani sebulan setelah pekerjaan berjalan. Anggaran supervisi yang seharusnya besar diduga hanya formalitas.
Aliansi Masyarakat Cibeureum menduga adanya “main mata” dan menuduh Kontraktor Utama, PT. Hutama Karya, bertindak seperti “calo proyek” atau broker.
”Kami menggambarkan kontraktor utama terkesan seperti calo proyek. Yang hanya menghubungkan owner (BBWS Citanduy) dengan Subkontraktor dan mengambil selisih keuntungan,” tegas Heri.
Dampaknya, keseluruhan pekerjaan disubkontrakkan tanpa pengawasan optimal, sehingga hasil patut diduga asal-asalan dan berpotensi merugikan negara.
Baca Juga: Anggota Tarung Derajat Satlat Dokar Tasikmalaya, Wajib Kuasai 5 Unsur Daya Gerak
Lingkungan Jadi Korban
Selain masalah teknis dan administrasi, proyek ini juga menimbulkan dampak sosial yang serius.
Sekitar 52 warga terdampak, dengan 10 orang di antaranya mengalami kerugian material. Seperti pohon di tebang tanpa izin dan sawah terkena urugan tanah. Dan kurangnya sosialisasi dan komunikasi membuat kegiatan terkesan semena-mena.
Masyarakat Cibeureum mendesak agar seluruh proyek Inpres Tahap III. Dengan total Rp47 Miliar untuk 13 titik untuk segera di audit total. Mereka berharap program Inpres tidak menjadi “bancakan oknum” yang mencederai visi besar pemerintah.
Aliansi Masyarakat Cibeureum berencana melakukan aksi demonstrasi ke BBWS Citanduy. Sebelum mengajukan laporan pengaduan resmi atas dugaan pelanggaran teknis dan administrasi.
(Abdul)


